Wednesday, August 23, 2006

Berselisih, Haruskah ?




Berselisih, Haruskah ?
Tinjauan atas Perselisihan yang ada di tengah Kelompok Sunni dan Kelompok Syi'ah.
Husein Muhammad Al Kaff.


Merupakan kenyataan yang tidak bisa diingkari bahwa perselisihan dan perbedaan pendapat seputar pemahaman keagamaan telah mengakibatkan munculnya golongan dan konflik sosial-keagamaan di tengah masyarakat Islam. Perselisihan dan perbedaan ini akan terus mendatangkan perpecahan dan permusuhan di tengah kaum Muslimin. Namun uniknya, kenyataan ini oleh kebanyakan orang dianggap sebagai sesuatu yang sah dan dapat dibenarkan. Kemudian dewasa ini seiring dengan perkembangan waktu yang menghembuskan nafas globalisasi dan pluralisasi, kemunculan pendapat-pendapat - yang sebagian darinya semata-mata didasari kebebasaan berpikir dan terkesan dipaksakan - bertambah marak dan menjadi lepas kendali, sehingga mudah saja seseorang memberikan pendapat dalam masalah keagamaan tanpa didukung seperangkat disiplin ilmu agama sebagai pra-syarat dalam berijtihad, dan lalu membuat kelompok sendiri.

Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin menjadi saksi atas munculnya golongan-golongan Islam, dan boleh dikata, bahwa Indonesia negeri Islam yang paling subur dengan berbagai golongan. Di negeri ini, golongan-golongan Islam tidak saja hasil adopsi dari luar, seperti Wahhabi, Syafi'i, Syi'ah dan Ahmadiyyah. Tetapi ada pula golongan yang muncul sebagai produk dalam negeri yang khas Indonesia serta tidak mempunyai akar di luar negeri, seperti: Islam Jama'ah dan NII, misalnya.

Tulisan ini tidak ingin membicarakan golongan-golongan Islam yang ada dan berkembang di Indonesia, dan tidak pula mencoba menilai mana diantaranya yang benar dan yang menyimpang. Karena membicarakan dua permasalahan itu sangat riskan dan barangkali subyektif. Tulisan ini hanya mencoba meninjau perselisihan dan perbedaan pendapat yang terjadi di tengah komunitas Syi'ah dan komunitas Sunni.

Ikhtilaf Umat: Rahmat atau Bencana ?

Seperti dikatakan tadi, bahwa berselisih pendapat adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Ia menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat manusia. Berkaitan dengan itu, Allah swt. berfirman,
" Sekiranya Tuhanmu berkehendak, niscaya Ia menjadikan manusia satu ummat. Namun mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang dikasihani Tuhanmu ".
(1)

Dalam mengomentari ayat ini, Allamah al Thaba'thaba'i menjelaskan bahwa perselisihan ( al ikhtilaf ) sebagai lawan dari kesepakatan ( al ittifaq ) bukanlah sesuatu yang sejalan dengan tabiat atau fitrah manusia, karena ia akan menimbulkan perseteruan, permusuhan dan peperangan sehingga akan hilang karenanya rasa aman dan damai dari tengah masyarakat. Termasuk ke dalam ikhtilaf ini adalah ikhtilaf dalam masalah agama, karena pada hakikatnya manusia jika kembali ke fitrahnya dengan jernih maka mereka akan memiliki keagamaan yang sama dan satu," Adalah manusia pada mulanya satu ummat "
(2). Namun kenyataannya, mereka selalu berselisih kecuali orang yang dikasihaniNya, yang tidak berselisih karena mengikuti fitrahnya.(3)


Perselisihan dan perbedaan dalam al Qur'an disebut dengan istilah ikhtilaf dan tafarruq. Di sini kami ingin melihat pemakaian dua kata ini ( ikhtilaf dan tafarruq ) dalam al Qur'an.

Al Ikhtilaf dengan derivasinya seperti , ikhtalaf, yakhtalif, dan mukhtalif disebutkan dalam al Qur'an sebanyak lima puluh dua kali, dan lima belas diantaranya dinisbahkan kepada selain manusia
(4). Yang menarik adalah bahwa ketika kata ikhtilaf ini dinisbatkan kepada manusia atau, dengan kata lain, manusia sebagai fa'il (pelaku atau subyek), maka kata ini berkonotasi negatif atau tidak dalam bentuk pujian. Sama dengan kata ikhtilaf, al tafarruq yang disebutkan sepuluh kali dalam al Qur'an ketika dinisbatkan kepada manusia juga mempunyai konotasi yang negatif.

Jadi, ikhtilaf termasuk perbuatan yang harus dihindari oleh umat manusia. Dalam tulisan ringkas ini tidak perlu diungkapkan data-data historis tentang apa yang muncul di tengah umat manusia, khususnya kaum Muslimin, sebagai akibat dari perselisihan dan perbedaan. Perselisihan dan perbedaan pendapat lebih banyak membawa efek negatif ketimbang positifnya. Permasalahannya, apa semua jenis perbedaan dan perselisihan itu tidak baik ? Jika tidak baik, bukankah itu akan menyebabkan kemandekan intelektual atau pemandulan intelektual ? Lalu bagaimana dengan ungkapan yang populer " ikhtilaf ummat itu rahmat "
(5)?.

Islam adalah satu-satunya agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, dan mendorong umatnya agar selalu berkarya ( ber-kreasi ) dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sampai beberapa waktu sebelum abad pertengahan ( renaisance ) dan ketika bangsa Eropa belum mengenal huruf-tulis, kaum Muslimin telah mengembangkan ilmu pengetahuan dengan berbagai bidang seperti, sosial santis, filsafat dan kajian-kajian tekstual keagamaan. Di negeri-negeri Islam terdapat perpustakaan-perpustakaan yang besar dan kaya buku
(6).

Pada saat Islam bersikap terhadap ilmu pengetahuan seperti itu, maka konsekwensinya adalah munculnya aneka ragam pemikiran dan pendapat yang berlawanan dan bertentangan.
Yang menjadi permasalahan adalah perlu dipisahkan antara pengembangan ilmu pengetahuan yang berefek pada perbedaan sehingga memunculkan golongan, sekte dan kelompok dengan perbedaan yang muncul sebatas wacana dan dalam wilayah intelektual saja.

Ungkapan populer yang berbunyi ," Ikhtilaf umatku itu rahmat ", yang menurut kebanyakan adalah hadis Nabi saww. perlu ditinjau kembali dari sisi sanad maupun matan-nya. Pada tulisan ini, kami ingin menyorotinya dari sisi matan dan sisi pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat umum. Hadis ini perlu ditinjau karena dianggapnya sebagai pemberi legitimasi adanya perbedaan dan perselisihan di tengah masyarakat muslim, bahkan perbedaan dan perselisihan itu menjadi sesuatu yang positif dan harus diupayakan demi memperoleh rahmat dari Allah swt. Bukankah rahmat itu harus dicari ?.

Kalau perbedaan itu mengakibatkan munculnya fanatisme, sektarianisme, kebencian dan permusuhan antar umat sehingga mereka berpecah belah, maka jelas perbedaan itu tidak akan mendatangkan rahmat tetapi bencana, sebagaimana yang dialami oleh kaum muslimin dari abad kelima tahun Islam
(7) sampai saat ini. Kecuali itu, perbedaan semacam itu bertentangan dengan al Qur'an yang mengecam ikhtilaf dan tafarruq(8).

Ikhtilaf yang Positif.

Kita tidak bisa serta merta menafikan ikhtilaf di tengah umat dan menjustifikasinya sebagai sesuatu yang negatif atau terlarang. Karena bagaimanapun juga, ikhtilaf adalah realita yang tidak bisa dipungkiri, dan juga menjadi dampak dari ajaran Islam yang menghormati ilmu pengetahuan dan pengembangan pemikiran. Namun yang perlu kita perhatikan bagaimana agar ikhtilaf itu benar-benar membawa berkah sesuai dengan ajaran Islam yang menghargai ilmu, dan pada saat yang sama, tidak membawa bencana yang dikecam oleh al Qur'an. Sebagai pengantar atas tujuan utama dari tulisan ini, kami mencoba mendudukan masalah ikhtilaf menjadi sesuatu yang membawa berkah dan rahmat.

Pertama, Ikhtilaf adalah Sebuah Otoritas.
Artinya berbeda pendapat dalam masalah agama bukanlah ruang atau ladang luas yang diperkenankan untuk semua kalangan; kaum awam maupun kaum terpelajar. Perbedaan hendaknya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kapabilitas ilmu agama yang mumpuni dan ekseptibilitas yang diakui. Tidak semua orang boleh menyatakan pendapatnya sehubungan dengan masalah agama. Sangatlah riskan kalau setiap orang yang tidak kapabel dan akseptebel diberi ruangan untuk berpendapat dalam masalah agama. Sebagai contoh, dalam disiplin ilmu fiqih, kita mengenal istilah ijtihad atau mujtahid. Seorang yang sudah sampai pada peringkat ijtihad dipersilahkan memberikan pandangannya sehubungan dengan hukum-hukum taklif; halal, haram, wajib dll. Tetapi yang belum sampai pada peringkat itu, maka bertaqlid kepada mujtahid
(9).

Mengembangkan ilmu agama, baik teologi, filsafat, fiqih, tafsir dan ilmu hadis harus terus dipertahankan karena tanpa itu agama Islam akan sulit berhadapan dengan perkembangan ilmu saintis yang pesat dan menakjubkan. Kami akan berikan contoh, sekiranya ulama fiqih hanya berpegangan pada kitab-kitab fiqih klasik ( baca: kitab kuning) seperti Fathul Wahhab, Fathul Qarib dan lainnya yang ditulis puluhan atau ratusan tahun silam, untuk menyelesaikan masalah hukum, misalnya sholat di bulan, bayi tabung, kloning dan lainnya, maka jelas kitab-kitab itu tidak akan memberikan jawaban apapun, karena kitab-kitab itu tidak lain dari kumpulan fatwa-fatwa yang disesuaikan dengan ruang dan waktu penulisannya. Ilmu fiqih harus dinamis dan mampu memberikan jawaban yang pas terhadap problema-problema hukum kontemporer dan modern, sehingga untuk itu, diperlukan ijtihad setiap waktu.

Demikian pula dalam kajian teologis (kalam), ada sanggahan-sanggahan yang dikemukakan sehubungan dengan ketuhanan, al Qur'an, hari akhirat dan lainnya. Semua itu menuntut para ahli kalam untuk menjawab. Misalnya, bagaimana mungkin al Qur'an yang terbatas jumlah ayat dan suratnya dapat menjawab problema-problema kehidupan yang terus bermunculan dan tidak terbatas ?. Tentu untuk menjawab sejenis sanggahan in tidak cukup dengan membuka kembali buku-buku kalam yang telah ditulis beberapa tahun yang lalu seperti Tajrid al I'tiqad, Tawhid al Dasuqi dan lainnya. Demikian pula ilmu filsafat, tafsir dan hadis.

Ala kulli hal, perlu adanya pengembangan ilmu agama demi menjaga dinamika ajaran Islam dan agar Islam tidak menjadi giliran berikutnya, setelah agama kristen, ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Tentu, tanggung jawab ini harus dipikul oleh para mujathid pada setiap disiplin ilmu-ilmu itu. Munculnya perbedaan pendapat antara para ahli sebagai akibat dari tuntutan berijtihad harus dieliminir agar tidak jatuh pada kaum awam yang cenderung bersikap hitam-putih dalam menilai permasalahan, dan agar tidak dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik. Perbedaan pendapat itu jika sampai kepada kaum awam atau ditunggangi kepentingan politik, maka yang muncul adalah perpecahan dan permusuhan. Ibnu Kholdun berkata,
" Pada mulanya perselisihan antara golongan-golonngan Islam hanya perselisihan ilmiah, dan perbedaan tidak lebih dari satu pendapat mengkritik pendapat yang lain, dan urusan mereka berjalan seperti itu. Tetapi hal itu berubah ketika arus perpecahan meluas dan perbedaan menyentuh masyarakat karena faktor politis yang menghendaki agar umat tidak berada pada satu pendapat "
(10)

Para ahli dituntut untuk bersikap arif dan tidak berkeinginan untuk menonjolkan diri dengan gagasan baru demi popularitas. Perbedaan pendapat dan memunculkan gagasan baru harus dibatasi pada lingkaran para ahli saja untuk didiskusikan dan dikembangkan. Jika perbedaan itu demikian adanya, maka akan membawa berkah dan rahmat, karena hal itu mendorong ulama untuk terus mengembangkan ilmu-ilmu Islam.

Kedua, Arti lain dari Ikhtilaf.

Menarik untuk diperhatikan bahwa ada arti lain dari ikhtilaf seperti yang dijelaskan oleh Imam Ja'far al Shodiq as. Diriwayatkan dari Abdul Mu'min al Anshari, dia berkata, " Aku bertanya kepada Abu Abdillah ( yakni, Ja'far al Shodiq ) as. " Sesungguhnya orang-orang meriwayatkan bahwa Rasulullah saww.bersabda, " Sesungguhnya ikhtilaf umatku rahmat ? ". Beliau menjawab, " Mereka benar ". Lalu aku berkata, " Kalau ikhtilaf ( perselisihan ) mereka itu rahmat maka perkumpulan mereka adalah bencana ? ".

Kemudian Imam Ja'far berkata, " Makna ikhtilaf di sini tidak seperti yang kamu dan mereka pahami. Tetapi beliau ( yakni, Rasulullah ) menginginkan firman Allah swt { al Taubah 122 }. Allah memerintahkan mereka agar pergi kepada Rasulullah saww. dan ber-ikhtilaf (pergi atau berkunjung ) kepadanya untuk belajar. Beliau menginginkan agar mereka ber-ikhtilaf ( pergi ) ke kota-kota bukan ikhtilaf dalam agama Allah "
(11).
Dalam beberapa ayat al Qur'an disebutkan makna lain dari ikhtilaf, seperti ayat yang berbunyi, " Sesungguhnya pada ikhtilaf malam dan siang dan pada apa yang Allah ciptakan di langit dan bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa "
(12) . Makna ikhtilaf malam dan siang adalah pergantian malam dan siang.

Jika kata ikhtilaf diartikan seperti yang dijelaskan Imam Ja'far, maka ikhtilaf itu akan membawa berkah dan rahmat. Artinya, umat selalu pergi kepada para ulama untuk bertanya dan belajar, atau pergi mengembara ke kota-kota, dan bukan ber-ikhtilaf dalam masalah agama.

Kesimpulannya, bahwa ikhtilaf adalah bagian dari mozaik kebebasan berpendapat dan pengembangan ilmu, dan bahwa ia menjadi rahmat dan berkat jika berputar di kalangan kaum terpelajar. Tetapi ketika sampai ke arus bawah ( graas root ) atau kaum awam maka akan menjadi perpecahan dan permusuhan, atau ketika yang mendasari ikhtilaf adalah mencari popularitas, bukan pencarian terhadap kebenaran, maka akan terjadi persaingan antara kaum terpelajar dan ulama, yang secara tidak langsung berimbas terhadap kaum awam.

Ikhtilaf Pada Zaman Nabi saww.

Kehadiran Nabi Muhammad saww. di tengah para sahabat merupakan sentral utama. Fungsi beliau adalah memimpin pemerintahan pasca-hijrah dan menyelesaikan masalah-masalah syariat ( marja' ). Keputusan beliau sebagai pemimpin dan marja' harus ditaati dan dilaksanakan oleh para sahabat. Tidak mengikutinya dianggap sebagai pelanggaran terhadap keputusan Allah swt. dan sebuah dosa. Sehubungan dengan itu, Allah swt. berfirman, " Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin maupun mukminah, jika Allah dan RasulNya telah memutuskan suatu perkara, untuk memilih dalam urusan mereka. Dan barangsiapa melanggar (keputusan ) Allah dan RasulNya, maka ia telah tersesat dengan nyata ".( QS al Ahzab, 33: 36 ).

Segala perselisihan pendapat antara para sahabat segera berakhir ketika mereka mengembalikannya kepada Nabi saww. Dalam kitab hadis diriwayatkan perbedaan pendapat antara Umar al Khattab dengan A'mmar bin Yasir, ketika keduanya dalam perjalanan dan berjunub, sementara mereka tidak mendapatkan air untuk mandi wajib ( al ghusl ). Maka mereka melakukan apa yang menurut mereka benar. Sesampainya di Medinah, mereka menanyakan kejadian itu kepada Nabi saww., lalu beliau mengajarkan tayammum
(13).
Demikian pula pertengkaran pernah terjadi antara seorang Anshar dengan seorang Muhajir, sebagaimana yang dikutip dalam buku sejarah. Waktu itu, setelah kaum Muslimin menang dalam perang melawan Bani Musthaliq, muncul pertengkaran antara seorang sahabat Anshar dengan sahabat Muhajir
(14). Juga antara sesama Kaum Anshar, antara kabilah Khazraj dengan kabilah Aus yang nyaris berperang di hadapan Nabi saww(15).

Tentu masih banyak contoh lain tentang perselisihan yang terjadi pada zaman Nabi saww. Namun semua itu berakhir dengan damai karena kehadiran Nabi saww. di tengah mereka.

Perbedaan pendapat maupun pertengkaran di antara para sahabat Nabi saww. tidak berlangsung lama dan segera berakhir dengan damai. Hal itu semata-mata karena adanya seorang pemimpin dan marja'. Oleh karena itu, ikhtilaf pendapat seputar agama di zaman Nabi tidak berlanjut menjadi perpecahan dan tidak pula melahirkan kelompok-kelompok.

Setelah Nabi saww. wafat, muncul dua kelompok di tubuh kaum Muslimin; pengikut khalifah dan pengikut Ali bin Abi Thalib. Munculnya dua kelompok ini karena adanya ikhtilaf antara para sahabat Nabi saww. tentang siapakah yang berhak menjadi khalifah de jure setelah Nabi saww. Ikhtilaf ini terus berkembang sampai sekarang, dan pada perkembangan berikutnya kedua kelompok in disebut dengan golongan Ahlu Sunnah wal Jama'ah
(16) ( baca: Sunni ) dan golongan Syiah(17). Kedua kelompok ini mempunyai pendekatan yang berbeda dalam menangani ikhtilaf dalam agama yang terjadi di tengah mereka masing-masing, dan efek yang ditinggalkan oleh ikhtilaf pada dua kelompok ini sangat berbeda.

Ikhtilaf di Kalangan Sunni.
Sunni atau Ahlu Sunnah wal Jama'ah adalah kelompok Islam yang menjadikan al Qur'an dan Sunnah Nabi saww. sebagai dasar hukum agama. Mereka dalam memahami keduanya terkadang secara langsung ke kitab dan sunnah, dan terkadang merujuk ke pemahaman para sahabat Nabi saww. Oleh karena itu, pemahaman ( baca: ijtihad) para sahabat dijadikan sebagai dasar hukum syariat. Para khalifah meskipun mempunyai kedudukan yang mulia, namun mereka tidak lebih dari pemimpin pemerintahan atau kepala negara ansich. Kebijakan para khulafa al rasyidin lebih dilihat sebagai kebijakan politis dan sosial untuk kemaslahatan ummat Islam, bukan sebagai ketetapan agama. Dalam masalah syariat, mereka tidak mempunyai kompetensi yang lebih daripada para sahabat yang lain. Bahkan beberapa sahabat Nabi saww. lebih alim dari beberapa khulafa al rasyidin, seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar dan lainnya
(18). Ali bin Abi Thalib sajalah yang merangkap sebagai khalifah sekaligus seorang yang alim.

Hal itu diyakini Ahlu Sunnah karena mereka tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menjadikan para khulafa al rasyidin berfungsi seperti Nabi saww, sebagai pemimpin pemerintahan dan marja' sekaligus. Sehingga dengan demikian, ada dua kepemimpinan; pemimpin pemerintahan yang berada ditangan para khulafa al rasyidin, dan marja'iyyah yang menjadi wewengan semua sahabat Nabi saww.

Beranjak dari kenyataan ini, maka keputusan syariat ditangani oleh masing-masing sahabat Nabi saww.dan itu telah menimbulkan perbedaan antara para sahabat atau bahkan perpecahan yang mengakibatkan pembunuhan
(19) dan perang(20). Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pendapat mereka dianggap sebagai ijtihad, jika ijtihad mereka itu benar, maka mereka mendapatkan dua pahala, dan jika salah maka mendapatkan satu pahala.

Kemudian ijtihad para sahabat itu, pada perkembangan berikutnya, oleh kelompok Sunni dijadikan sebagai dasar hukum syariat, karena kedekatan mereka dengan Nabi saww. Pada generasi tabi'in dan pengikut tabi'in ( tabi'it tabi'in ), keberagamaan setiap orang sangat sederhana dan praktis. Orang awam cukup dengan mengikuti para ulama, dan tidak ada semacam aturan untuk mengikuti satu imam mazhab atau mazhab tertentu. Perbedaan pendapat diantara ulama pada era tabi'in dan era pengikut tabi'in cukup luas, tidak terbatas pada empat imam mazhab saja. Pembatasan jumlah mujtahid pada empat imam mazhab; Abu Hanifah al Nu'man bin Tsabit ( 80-150 H.), Malik bin Anas ( 93- 179 H.), Muhammad bin Idris al Syafi'i ( 150- 198 H.) dan Ahmad bin Muhammad bin Hanbal ( 164- 241 H.), terjadi pada tahun 665 H./ 1257 M
(21). Dari sejak itu, kaum muslimin diwajibkan mengikuti salah satu dari empat mazhab tersebut, dan tidak diperkenankan seseorang mengaku sebagai mujtahid.

Kemudian setelah hadirnya Muhammad bin Abdul Wahhab ( 1115-1207 H ), pendiri aliran Wahhabiah, tradisi bertaqlid kepada empat imam mazhab dikritisi dan dianggapnya sebagai pembekuan intelektual dan pengkultusan pribadi para imam mazhab. Ia mewajibkan setiap muslim untuk kembali ke kitab dan sunnah dan diharamkan bertaqlid, khususnya kepada empat imam mazhab yang telah wafat.

Munculnya kaum Wahhabi menciptakan lahan yang subur bagi munculnya kelompok-kelompok dalam tubuh kaum muslimin, karena konsekwensi diwajibkannya setiap muslim kembali secara langsung kepada kitab dan sunnah adalah bahwa dengan sangat mudah bagi siapapun mempunyai interpretasi terhadap kitab dan sunnah, lalu ia diikuti oleh sejumlah orang dan akhirnya membentuk kelompok sendiri. Kenyataan ini tampak jelas dengan menyolok di tengah kaum muslimin di Indonesia.

Sejak angin segar pembaruan yang dihembuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad Abduh di timur tengah, keberagamaan kaum muslimin di Indonesia tidak lagi seragam, yakni bertaqlid kepada ulama Syafi'iyyah ( kaum tradisional ). Gaya beragama dengan meruju' langsung kepada kitab dan sunnah menyebar luas di tanah air ini. Dan itu tidak hanya diwakili lembaga-lembaga keagamaan seperti; PERSIS, Muhammadiyah dan al Irsyad saja. Di luar tiga kelompok itu, ada kelompok-kelompok Islam lain seperti, Islam Jama'ah, Ahmadiyyah dan Jama'ah Tabligh, juga gerakan-gerakan Islam fundamentalis seperti, NII, Ikhwanul Muslimin, Jama'ah Muslimin, Hizbut Tahrir, al Salafi dan lainnya termasuk yang mengikuti gaya beragama seperti ini. Bahkan akhir-akhir ini, setelah banyaknya buku-buku induk Islam diterjemahkan ke bahasa Indonesia, orang-perorangpun dari kaum muslimin yang tidak tergabung dalam kelompok-kelompok di atas cenderung ke gaya tersebut.

Gaya beragama seperti ini sangat rentan dengan ikhtilaf, karena setiap orang atau kelompok boleh bersentuhan langsung dengan kitab dan sunnah, dan dengan mudah ia mengatakan bahwa pendapatnya adalah pendapat yang berdasarkan kitab atau sunnah. Dan pada gilirannya akan terus bermunculan kelompok-kelompok kecil di tengah masyarakat Sunni, tanpa ada yang bisa ( baca; berhak) mengakhirinya.

Ikhtilaf dalam memahami agama di tengah umat Sunni tidak saja sebatas wacana dan terbatas di kalangan ulama saja, tetapi telah menjadi sebuah konflik sosial dan terbuka untuk semua kalangan umat Sunni. Kemudian persoalan ikhtilaf makin menjadi-jadi dan tambah runyam karena adanya ungkapan bahwa " ikhtilaf ummatku adalah rahmat ", dengan pengertian yang dipahami kebanyakan orang.

Ikhtilaf di Kalangan Syi'ah.

Munculnya kelompok-kelompok di kalangan Syi'ah tidak sebanyak di kalangan Sunni. Dewasa ini ada tiga kelompok dalam Syi'ah; Imamiyyah, Zaidiyyah dan Ismailiyyah. Namun sekarang ini kata Syiah identik dengan Imamiyyah, karena kelompok ini saja yang masih mempertahankan ajaran Ahlul bait secara utuh dan kaya akan ajaran-ajarannya. Sedangkan dua kelompok lainnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Kecuali itu, mereka tidak banyak memiliki buku-buku yang menjelaskan ajaran mereka secara utuh dan lengkap.

Oleh karena itu, yang dimaksud Syi'ah dalam pembahasan ini adalah Syi'ah Imamiyah ( atau disebut juga dengan Syi'ah Ja'fariyyah dan Itsna 'Asyariyyah ). Syi'ah Imamiyyah memiliki literatur-literatur yang banyak dalam berbagai disiplin ilmu agama, Tafsir, Hadits, Ulumul Qur'an, Ushul Fiqh, Fiqh dan lain sebagainya, sehingga melalui buku-buku itu kita dapat mengetahui gambaran yang jelas tentang ajaran-ajarannya. Selain itu, Syi'ah Imamiyyah mengalami perkembangan dan pertumbuhan pengikutnya yang signifikan. Lebih dari itu, pada dua dasawarsa terakhir ini komunitas Syi'ah Imamiyyah berhasil membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan wilayatul faqih
(22) (ajaran yang sangat fundamental dari ajaran-ajaran Syi'ah Imamiyyah ).

Dalam keyakinan Syi'ah bahwa fungsi kenabian; pemimpin ummat dan marja'iyyah, tetap diteruskan oleh para imam dari Ahlul bait ( keluarga Nabi saww.) dimulai dari Imam Ali bin Abi Thalib sampai Imam Muhammad al Mahdi, yang berjumlah dua belas
(23). Para Imam berfungsi sebagai pemimpin ummat dan marja'. Meskipun dalam sejarahnya, mereka tidak diberi peranan untuk memimpin ummat Islam secara keseluruhan. Namun, bagi para pengikutnya, mereka tetap sebagai pemimpin yang wajib ditaati. Berdasarkan keyakinan itu, orang-orang Syi'ah secara total menyerahkan segala urusan mereka, khususnya urusan agama kepada para Imam Ahlul bait, sebagaimana halnya para sahabat menyerahkan segala urusan mereka kepada Nabi saww(24). Dengan demikian, setiap ada perselisihan antara para pengikut Ahlul bait maka akan segera dikembalikan kepada para imam dan mereka harus menerima keputusan para imam, sehingga perselisihan itu tidak berlangsung lama, apalagi membentuk menjadi sebuah kelompok.

Kemudian, termasuk dari ajaran mereka adalah bahwa pada masa ghaibnya Imam al Mahdi ( lahir 250 H), kedua fungsi ini dilimpahkan kepada para ulama yang diakui kepakarannya dalam ilmu-ilmu agama, dan kecakapannya dalam membina umat. Berkaitan dengan itu, ada beberapa riwayat yang menunjukkan fungsi ulama sebagai pengganti Nabi saww. dan para imam, diantaranya, Rasulullah saww. bersabda, " Para fuqaha adalah kepercayaan para rasul selagi mereka tidak memasuki urusan dunia ". Beliau ditanya, " Ya Rasulullah, bagaimanakah mereka memasuki urusan dunia ? ". Beliau menjawab, " Mengikuti penguasa. Jika mereka melakukan itu, maka waspadailah mereka atas agama kalian "
(25).

Imam al Mahdi mengatakan, " Adapun permasalahan yang terjadi, maka kembalikanlah kepada para perawi hadis kami. Sesungguhnya mereka adalah dalilku atas kalian dan aku adalah dalilnya Allah "
(26).
Riwayat ini dan yang sejenisnya dijadikan sebagai dasar atas fungsi ulama sebagai pemimpin dan marja'. Bagi Syi'ah, meski kedudukan para ulama itu tidak sama dengan kedudukan para imam dalam hal intelektualitas dan spritualitas, namun mereka berfungsi seperti para imam. Hadis populer yang berbunyi, " Para ulama adalah pewaris para nabi " benar-benar dibuktikan dalam keberagamaan mereka. Kedudukan ulama sebagai pembuat keputusan ( decision maker ) menjadi bagian dari ajaran yang mereka jalankan dalam kehidupan beragama. Mereka akan sangat patuh dan taat terhadap fatwa para ulama. Perselisihan keluarga dan individual atau sosial, sekalipun, akan segera berakhir dengan fatwa ulama. Masyarakat umum yang non-ulama tidak akan berani memberi atau mengeluarkan pendapat apapun dalam urusan agama, karena mereka meyakini bahwa itu bukan wewenang mereka. Oleh karena itu, di tengah masyarakat Syi'ah sangat jarang, kalau tidak dikatakan tidak akan ada, ikhtilaf karena pemahaman keagamaan yang menimbulkan kelompok-kelompok Syi'ah.

Ikhtilaf yang muncul diantara komunitas Syi'ah di Indonesia, khususnya akhir-akhir ini, diakibatkan karena tendensi-tendensi pribadi yang erat kaitannya dengan kebersihan hati, atau karena pengaruh latar belakang keagamaan mereka sebelum tasyayyu'.

Gaya keberagamaan di kalangan Syi'ah yang patuh dan tunduk terhadap fatwa para ulama tidak berarti dengan sendirinya kemandekan wacana dan keilmuan di tengah mereka. Justru, aneka ragam pemikiran dalam berbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, teologi, fiqih dan lainnya sangat berkembang. Para ulama dan kaum intelek Syi'ah tidak kalah kaya dengan para ulama dan kaum intelek Sunni dalam melahirkan pemikiran-pemikiran yang baru dan segar. Namun, semua itu tidak sampai menyentuh masyarakat umum, apalagi melahirkan kelompok-kelompok baru. Ikhtilaf dan perdebatan ilmiyah hanya terjadi di lingkungan para ulama dan kaum intelek saja. Ikhtilaf seperti ini perlu atau harus dikembangkan demi kemajuan Islam, juga merupakan ruh Islam yang abadi sampai hari akhir, tanpa melibatkan masyarakat umum dan tidak ditunggangi kepentingan pribadi, politis maupun sosial..
____________
1 - QS. Hud 118-119.
2 - QS. Al Baqarah 213.
3 - Lihat tafsir al Mizan 11: 60-62, Allamah al Thaba'thabai.
4 - Jumlah ini cocokan dengan indeks ayat al Qur'an ( al Mu'jam al Mufahras li Alfaadz al Qur'an al Karim atau Fathurrahman )
5 - al Jami' al Shoghir , Jalaluddin al Suyuthi tanpa menyebutkan sanadnya. Banyak dari ulama yang meragukan ke-shahih-an hadis ini.
6 - Lihat al Madkhol ila Hadhorot al Ashri al Abbasi, Dr. Muhammad Kadzim al Makki.
7 - Lihat al Imam al Shodiq wal Mazaahib al Arba'ah 1/191-192, Asad Haydar. Dalam buku ini diceritakan diceritakan tentang pertumpahan darah antara para pengikut mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali pada abad kelima, keenam dan ketujuh.
8 - Lihat kembali ayat-ayat tentang ikhtilaf dan tafarruq.
9 - Lihat tulisan Penulis pada jurnal yang sama edisi II tentang Ijtihad antara Wajib dan Haram..
10 - al Imam al Shodiq wal Mazaahib al Arba'ah 1/187 , Asad Haydar .
11 - Mizan al Hikmah 3/77, Muhammad Reysyahri .
12 - QS Yunus 6. Ada 4 ayat lain yang sama dengan ayat ini.
13 - Shahih al Bukhari, Kitab al Tayammum.
14 - Al Sirah al Nabawiyyah 3/303, Ghazwah Bani Musthaliq.
15 - Shahih al Bukhari 5/119.
16 - Istilah Ahlu Sunnah wal Jama'ah muncul belakangan pada akhir abad pertama atau awal abad kedua. Ada beberapa teori tentang sebab penamaan Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Sebagian mengatakan bahwa istilah al Jama'ah lebih awal muncul dari istilah al Sunnah, yaitu ketika Muawiyah diangkat sebagai khalifah/raja. Waktu itu, disebut dengan tahun al Jama'ah ( 'aam al jama'aha) sebagai ungkapan atas dukungan kaum muslimin kepada Mu'awiyah. Sedangkan istilah Ahlu Sunnah muncul berikutnya untuk memisahkan antara kelompok yang mengikuti al Jama'ah dengan ahlul Bid'ah yang tidak mendukung Mu'awiyah. Oleh karena Ahlul Jama'ah dianggapnya mengikuti sunnah dalam mentaati penguasa, maka istilah Sunnah digabungkan sehingga menjadi Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
Sebagian berpendapat bahwa istilah Ahlu Sunnah muncul pada masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz yang memerintahkan ditulisnya hadis-hadis Nabi saww. Tetapi pada perkembangan berikutnya istilah ini digunakan untuk kelompok yang menerima kepemimpinan khulafa al Rasyidin, khilafah Umawiyyah dan khilafah Abbasiyyah. Istilah itu diketengahkan sebagai rival dari istilah Syiah yang meyakini Ahlul Bait sebagai penerus kenabian. (lihat Buhuts fi al Milal wa al Nihal, Ja'far Subhani dan Tarikh al Islam al Tsaqofi wa al Siyasi, Shoib Abdul Hamid ).

17 - Pada hakikatnya istilah " Syiah " sudah muncul sejak zaman Nabi saww. al Suyuthi dalam kitab tafsirnya, al Durru al Mantsur ,ketika menafsirkan ayat " ulaaika hum khoyrul bariyyah " mengutip riwayat dari Nabi saww. bahwa mereka adalah Ali dan Syiahnya. ( lihat Tafsir al Durru al Mantsur ).
18 - Diriwayatkan bahwa pernah Khalifah Umar berceramah tentang harus dibatasinya jumlah mas kawin yang diminta calon istri dari calon suaminya. Lalu pernyataannya itu dibantah oleh seorang wanita dengan mengutip sebuah ayat ( al Nisa' 20 ). Kemudian Umar berkata, " Setiap orang lebih pandai dari Umar ".( lihat al Nash wal Ijtihad 350, Syarifuddin al Musawi ).
19 - Misalnya, Muawiyah membunuh 'Addiy bin Hatim.
20 - Misalnya, perang Unta ( al jamal ) antara Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair dan Aisyah, dan perang Shiffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah..
21 - Lihat tulisan Penulis Ijtihad antara Wajib dan Haram, jurnal al Huda II.
22 - Imam Khomeini ra. Dalam menjelaskan posisi wilayatul faqih, mengatakan " Wilayatul faqih adalah konsep yang jelas dan terkadang tidak lagi membutuhkan pembuktian ilmiah ( burhan ). Artinya, bahwa siapapun yang memahami hukum dan teologi Islam, maka ia akan melihatnya sebagai sesuatu yang aksioma '.( al Hukumah al Islamiyyah 7, Imam al Khomeini )
23 - Dalam kitab Shahih al Bukhari diriwayatkan dari Jabir bin Samuroh bahwa Rasulullah saww. bersabda, Akan ada dua belas amir ( imam-pen ), semuanya dari ( keturunan ) Quraisy ".( al Bukhori kitab al ahkam 248/4. Cetakan Syirkah al Ma'arif li al thab'I wa al nasyri )
24 - Dalam tulisan ini tidak perlu dituliskan alasan-alasan mereka, dari kitab maupun sunnah, dalam menjadikan para imam Ahlul bait berfungsi seperti Nabi saww.
25 - al Kafi, kitab keutamaan ilmu bab 13 hadis 5.
26 - al Wasa'il 18/101 kitab al Qodho bab 11 hadis 9.

No comments:


About Me

My photo
Graduan arkiteksur S1 UI. S2 Universitas Sains Malaysia. Pernah ikut suami ke Penang, Malaysia. Kini 'bekerja dengan famili.' Asal Utan Kayu, Jakarta, Indonesia