Tuesday, August 19, 2008

Imam Mahdi Dalam Kristian

Berkaitan dengan sejarah Imam Mahdi as disebutkan bahwa menurut hadis-hadis Rasulullah saw dan para imam suci Ahlulbait as serta beberapa penulis sejarah Islam Ahlusunah maupun Syiah meriwayatkan bahwa Imam Mahdi as berasal dari keturunan kesem­bilan Imam Husein bin Ali as atau Imam Keduabelas dari keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as. Namanya akan sama dengan nama Rasulullah saw dan nama ayah beliau sama dengan nama putra pertama Imam Ali as. Pada bab pertama buku Al-Mahdi al-Mau’ûd al-Muntazhar karya Syaikh Najmuddin al-Askari disebutkan 26 riwayat dari jalur Ahlusunah yang menyebutkan bahwa Imam Mahdi as telah dilahirkan di kota Samarra‘ yang kini menjalani kegaiban hingga saat kemunculannya nanti.[12]

Menurut sejarawan Syiah, kelahiran Imam Mahdi as terjadi pada tanggal 15 Syakban 255 H di kota Samarra‘. Dijelaskan bahwa kondisi menjelang kelahirannya hampir sama dengan yang terjadi pada saat kelahiran Musa as. Menjelang Musa as dilahirkan, beberapa cenayang bangsa Mesir meramalkan kelahiran seorang bayi lelaki dari bangsa Israel yang kelak mampu meruntuhkan Impirium Pharaoh. Kabar itu telah memunculkan kekhawatiran penguasa Mesir, sehingga menyulut pembantaian terhadap bayi-bayi lelaki berkebang­saan Israel. Menjelang Imam Mahdi as dilahirkan, penguasa Dinasti Abbasiyyah, al-Mu’tamid juga sempat mengalami kehawatiran yang sama. Al-Mu’tamid memerintahkan aparatnya untuk melacak dan mengawasi setiap kelahiran yang terjadi. Ibunda Imam Mahdi as, Sayidah Janab Narjis Khatun as, sempat mendapat pengawasan ketat dari Qadhi Abu Surab yang mendapat perintah langsung dari al-Mu’tamid untuk mengawasi keluarga Imam Hasan al-Askari as. Akan tetapi, melalui Pemeliharaan Langit (Divine Protection) dan beberapa fenomena supranatural yang mengiringi kelahiran beliau; sama seperti yang pernah dialami Musa as dan ibunya, maka sang ibu dan Imam Mahdi as yang baru dilahirkan akhirnya terlindungi dari para penguasa yang hendak mencelakakan mereka. Semenjak kelahiran­nya hingga balita, pemeliharaan Imam Mahdi as tetap dira­hasiakan dan hanya orang-orang tertentu saja yang diperkenankan untuk bertemu dengannya. Beliau mengalami dua kali kegaiban. Pertama terjadi pada 260 H, sedangkan kegaiban kedua dan disebut sebagai kegaiban akbar (al-ghaybah al-kubrâ) terjadi pada tahun 328 H sampai sekarang.

Mengetahui berita wafatnya Imam Hasan al-Askari as (ayah Imam Mahdi as) pada 8 Rabiulawal 260 H dan mendengar bahwa upacara penguburannya dipimpin oleh seorang bocah berusia 4 tahun, al-Mu’tamid menyadari bahwa sang bocah adalah Imam Mahdi as. Untuk mengkonfirmasikan hal tersebut, dia memerintahkan para pengawal untuk menangkap ibunda Imam Mahdi as dan mengintero­gerasinya. Tetapi, setelah memenjarakan ibunda Imam Mahdi as selama enam bulan tanpa memperoleh hasil, akhirnya al-Mu’tamid melepaskannya.

Selain kisah kelahirannya, Sayidah Narjis Khatun as atau ibunda Imam Mahdi as juga disebutkan memiliki silsilah keturunan hingga datuknya yang bernama Simon Keffas atau Santo Petrus. Simon anak Yohanes merupakan pemimpin Hawariy dari Isa as.[13] Setelah ber­akhirnya misi kenabian Isa as, dia mengembalikan posisi kepemim­pinan bangsa Israel kepada suku Yusuf.[14] Menurut kitab-kitab Injil Kanonik, Simon berasal dari Betsaida, sebuah kota di tepi danau Tiberias, daerah Provinsi Galilea di wilayah suku Menasye.

Menurut Kitab Kejadian, setelah Nabi Yakub as wafat, putra Yusuf yang bernama Manasye, diangkat untuk menjadi pemimpin bangsa Israel dan hal ini terus berlangsung hingga kedatangan Musa as dan Harun as dari suku Lewi. Kisah yang disebutkan al-Kitab dan juga Al-Qur’an mengenai mimpi Nabi Yusuf as tentang sujudnya sebelas bintang, matahari dan bulan kepadanya[15] jelas mengukuhkan argumen ini. Bahkan, di kemudian hari, pecahnya Kerajaan Israel paska Nabi Sulaiman as terjadi akibat perebutan kekuasaan antara suku Yehuda dan suku Yusuf. Hanya saja, yang terlibat konflik dengan suku Yehuda adalah suku Efraim putra kedua Yusuf as yang merupakan saudara Manasye.

Berkaitan dengan sejarah peristiwa kelahiran Imam Mahdi as dan perjuangan sang Ibu untuk melindungi putranya dari upaya pem­bunuhan penguasa Dinasti Abbasiyyah serta asal-usul Sayidah Narjis Khatun as yang sampai kepada Santo Petrus jelas sangat unik dan luar biasa! Belum pernah ada kisah-kisah seperti ini dalam ajaran, tradisi maupun sejarah umat Yahudi atau Nasrani. Ajaran Yahudi bahkan tidak peduli dengan Simon Petrus as karena dianggap sebagai figur ajaran Kristen. Selain Simon Petrus, Nabi Yahya as dan Isa as tidak pernah masuk daftar jajaran nabi bangsa Israel. Umat Yahudi meyakini bahwa Sang Mesiah konon akan berasal dari suku Yehuda dan tidak akan pernah sudi untuk memberikan porsi keuta­maan itu kepada suku Yusuf!

Dalam ajaran Kristen juga tidak pernah ada perhatian khusus kepada Simon Petrus as setelah kewafatannya, kecuali mengabadi­kan nama beliau untuk bangunan-bangunan gereja di berbagai tempat di dunia termasuk gedung Keuskupan yang megah di Vatikan yaitu, St. Peter’s Cathedral atau Katedral Santo Petrus, dan itu pun baru terjadi pada awal abad kelima belas Masehi. Peletakan batu pertama untuk membangun Katedral ini dilakukan oleh Paus Julius dan dibangun selama 120 tahun dari tahun 1506 M hingga 1626 M.

Alhasil, ajaran Kristen tidak pernah menantikan seorang juru selamat yang ibunya akan berasal dari keturunan Simon Petrus as, karena dalam Kristen, suku Yehuda lebih utama daripada suku Yusuf. Selain itu, yang akan datang menjelang akhir zaman nanti dalam kepercayaan umat Kristen adalah Yesus Kristus tanpa kehadiran seorang Imam (Paus atau Uskup) atau lainnya sebagai pendamping Yesus. Dan tidak pernah ada juga riwayat yang menyatakan bahwa pemimpin mereka akan lahir dari seorang ibu yang memiliki silsilah sampai kepada Simon Petrus as.

Sehubungan dengan seluruh uraian mengenai sejarah Imam mahdi as di atas dan hal-hal yang terkait dengan peristiwa-peristiwa tersebut seperti kelahirannya, ibunya dan kegaibannya, sebenarnya ada sebuah nubuat yang perlu dicermati pada pasal 12 dalam Kitab Wahyu. Nubuat itu adalah sebagai berikut:

Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perem­puan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.

Ia sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaan­nya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan.

Maka tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota.

Dan ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi. Dan naga itu berdiri di hadapan perempuan yang hendak melahirkan itu, untuk mene­lan Anaknya, segera sesudah perempuan itu melahi­rkan-Nya.

Maka ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan meng­gembalakan semua bangsa dengan gada besi; tiba-tiba Anak­nya itu dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya.

Perempuan itu lari ke padang gurun, di mana telah disediakan suatu tempat baginya oleh Allah, supaya ia dipelihara di situ seribu dua ratus enam puluh hari lamanya. (Wahyu 12:1-5)

Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa nubuat adalah wacana profetis. Ia merupakan pemberitahuan tentang kejadian-kejadian tertentu setelah periode penerimaan nubuat. Pesan atau substansi nubuat itu sendiri bersifat abstrak dalam bentuk gambaran simbolis dan metaforis. Ditinjau dari sudut pandang awam, kebanyakan manusia baru menyadari bahwa suatu nubuat itu telah tergenapi atau terjadi setelah berlalunya peristiwa yang dinubuatkan.

Baca lanjut
di sini.

No comments:


About Me

My photo
Graduan arkiteksur S1 UI. S2 Universitas Sains Malaysia. Pernah ikut suami ke Penang, Malaysia. Kini 'bekerja dengan famili.' Asal Utan Kayu, Jakarta, Indonesia