Inna lillah wa Inna Ilayhi Rajeeon
Sunday, March 22, 2009
Sunday, March 08, 2009
Tuesday, March 03, 2009
Bapa Nabi, Abdullah Juga Syahid!
Yahudi dan Skandal Pembunuhan Abdullah, Ayah Nabi Muhammad saw
Masalah keinginan orang Yahudi membunuh Rasulullah saw telah direncanakan sejak lama. Usaha itu dilakukan bahkan ketika beliau masih berada dalam sulbi ayahnya, Abdullah dan saat berada dalam perut ibunya, Aminah. Setelah beliau lahir, usaha membunuh beliau semakin menjadi-jadi.
Para dukun dan rabi Yahudi berusaha keras membunuh Abdullah, ayah Nabi Muhammad saw. Salah satu tokoh mereka mengatakan, “Siapkan makanan yang telah diberi racun yang sangat mematikan dan kemudian makanan itu berikan kepada Abdul Mutthalib.” Orang-orang Yahudi melakukan hal itu lewat para perempuan yang menutup wajahnya dengan kain. Setelah makanan tersebut selesai dibuat, mereka membawanya kepada Abdul Mutthalib.
Ketika sampai di rumah Abdul Mutthalib, isterinya keluar dan menyambut mereka. Mereka berkata, “Kami masih keturunan Abdi Manaf dan itu berarti masih famili jauh kalian.” Mereka lantas memberikan makanan tersebut sebagai hadiah. Setelah mereka pergi, Abdul Mutthalib berkata kepada keluarganya, “Kemarilah keluargaku, kita menyantap bersama apa yang dibawakan oleh famili jauh kita.” Namun, saat mereka hendak memakan hidangan yang dibawa itu, terdengar suara dari makanan tersebut, “Kalian jangan memakan aku, karena aku telah diracuni oleh mereka.” Keluarga Abdul Mutthalib tidak jadi makan dan kemudian berusaha mencari tahu siapa para perempuan yang menghadiahi mereka hidangan itu. Namun selidik punya selidik mereka tidak berhasil mengetahui identitas mereka. Ini adalah salah satu tanda-tanda kenabian Rasulullah sebelum lahir.
Tidak berhasil, kembali sekelompok rahib Yahudi dengan memakai pakaian pedagang Syam memasuki kota Mekkah. Mereka sengaja datang ke sana untuk membunuh Abdullah, ayah Rasulullah saw. Sejak awal mereka telah mempersiapkan pedang yang telah di olesi racun. Mereka dengan sabar menanti kesempatan untuk melaksanakan rencana yang telah dibuat jauh-jauh hari.
Suatu hari, Abdullah bin Abdul Mutthalib keluar dari kota Mekkah untuk berburu. Orang-orang Yahudi melihat ini sebagai sebuah kesempatan bagus untuk membunuh Abdullah. Di suatu tempat mereka mengepung dan hendak membunuhnya. Namun lagi-lagi usaha mereka gagal, karena tiba-tiba ada sekelompok Bani Hasyim yang kembali dari perjalanan melalui tempat tersebut. Dan untuk kesekian kalinya Abdullah berhasil selamat dari niat busuk orang-orang Yahudi. Sempat terjadi bentrok antara orang-orang Yahudi dan Bani Hasyim yang berujung pada sejumlah pendeta Yahudi tewas dan sebagian lainnya ditawan dan dibawa kembali ke Madinah.
Abdullah, ayah Rasulullah saw meninggal secara misterius. Sebagian ada yang meriwayatkan beliau meninggal pada umur 17 tahun sementara lainnya menyebutkan 25 tahun.
Kazruni dalam bukunya al-Muntaqi menulis:
“Abdullah Mutthalib lahir tepat 24 tahun sejak masa pemerintahan Anushirvan, Raja Kisra. Ketika berumur 17 tahun, beliau menikah dengan Aminah. Ketika Aminah hamil Rasulullah saw, Abdullah meninggal dunia di Madinah. Semua orang menuduh penyebab kematian Abdullah adalah orang-orang Yahudi. Mereka meracuni Abdullah. Karena ketika di Mekkah mereka berkali-kali berusaha membunuh Abdullah namun tidak sempat karena ada kendala. Bagaimana bila Abdullah ke Madinah yang di sana hidup banyak orang Yahudi?
Tentunya, tujuan asli adalah Rasulullah saw, namun ayahnya, Abdullah yang menjadi korban.
Sumber: Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, cetakan baru, jilid 49 dan 15
Masalah keinginan orang Yahudi membunuh Rasulullah saw telah direncanakan sejak lama. Usaha itu dilakukan bahkan ketika beliau masih berada dalam sulbi ayahnya, Abdullah dan saat berada dalam perut ibunya, Aminah. Setelah beliau lahir, usaha membunuh beliau semakin menjadi-jadi.
Para dukun dan rabi Yahudi berusaha keras membunuh Abdullah, ayah Nabi Muhammad saw. Salah satu tokoh mereka mengatakan, “Siapkan makanan yang telah diberi racun yang sangat mematikan dan kemudian makanan itu berikan kepada Abdul Mutthalib.” Orang-orang Yahudi melakukan hal itu lewat para perempuan yang menutup wajahnya dengan kain. Setelah makanan tersebut selesai dibuat, mereka membawanya kepada Abdul Mutthalib.
Ketika sampai di rumah Abdul Mutthalib, isterinya keluar dan menyambut mereka. Mereka berkata, “Kami masih keturunan Abdi Manaf dan itu berarti masih famili jauh kalian.” Mereka lantas memberikan makanan tersebut sebagai hadiah. Setelah mereka pergi, Abdul Mutthalib berkata kepada keluarganya, “Kemarilah keluargaku, kita menyantap bersama apa yang dibawakan oleh famili jauh kita.” Namun, saat mereka hendak memakan hidangan yang dibawa itu, terdengar suara dari makanan tersebut, “Kalian jangan memakan aku, karena aku telah diracuni oleh mereka.” Keluarga Abdul Mutthalib tidak jadi makan dan kemudian berusaha mencari tahu siapa para perempuan yang menghadiahi mereka hidangan itu. Namun selidik punya selidik mereka tidak berhasil mengetahui identitas mereka. Ini adalah salah satu tanda-tanda kenabian Rasulullah sebelum lahir.
Tidak berhasil, kembali sekelompok rahib Yahudi dengan memakai pakaian pedagang Syam memasuki kota Mekkah. Mereka sengaja datang ke sana untuk membunuh Abdullah, ayah Rasulullah saw. Sejak awal mereka telah mempersiapkan pedang yang telah di olesi racun. Mereka dengan sabar menanti kesempatan untuk melaksanakan rencana yang telah dibuat jauh-jauh hari.
Suatu hari, Abdullah bin Abdul Mutthalib keluar dari kota Mekkah untuk berburu. Orang-orang Yahudi melihat ini sebagai sebuah kesempatan bagus untuk membunuh Abdullah. Di suatu tempat mereka mengepung dan hendak membunuhnya. Namun lagi-lagi usaha mereka gagal, karena tiba-tiba ada sekelompok Bani Hasyim yang kembali dari perjalanan melalui tempat tersebut. Dan untuk kesekian kalinya Abdullah berhasil selamat dari niat busuk orang-orang Yahudi. Sempat terjadi bentrok antara orang-orang Yahudi dan Bani Hasyim yang berujung pada sejumlah pendeta Yahudi tewas dan sebagian lainnya ditawan dan dibawa kembali ke Madinah.
Abdullah, ayah Rasulullah saw meninggal secara misterius. Sebagian ada yang meriwayatkan beliau meninggal pada umur 17 tahun sementara lainnya menyebutkan 25 tahun.
Kazruni dalam bukunya al-Muntaqi menulis:
“Abdullah Mutthalib lahir tepat 24 tahun sejak masa pemerintahan Anushirvan, Raja Kisra. Ketika berumur 17 tahun, beliau menikah dengan Aminah. Ketika Aminah hamil Rasulullah saw, Abdullah meninggal dunia di Madinah. Semua orang menuduh penyebab kematian Abdullah adalah orang-orang Yahudi. Mereka meracuni Abdullah. Karena ketika di Mekkah mereka berkali-kali berusaha membunuh Abdullah namun tidak sempat karena ada kendala. Bagaimana bila Abdullah ke Madinah yang di sana hidup banyak orang Yahudi?
Tentunya, tujuan asli adalah Rasulullah saw, namun ayahnya, Abdullah yang menjadi korban.
Sumber: Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, cetakan baru, jilid 49 dan 15
Friday, February 20, 2009
Sunday, January 18, 2009
Wednesday, January 14, 2009
Saturday, January 10, 2009
Zanjir Zani Beda dengan Qama Zani (Fatwa Ayatollah al Uzma Muhammad Fazel Lankarani)
Falsafah Zanjir Zani
Q1: Why do Shiites beat their chests during Muharram? What is the reason?
A1: Beating chest is one of the important expressions of lamentation and a means of showing disgust and hatred to the oppressors. Not only it is not a mistake but it also plays an important role in reviving and continuing the goals of the Imam (a.s.).
Q2: It so happens that people beat their chests and their backs with chains and their bodies turn red and even start bleeding. Is it permissible?
A2: It is permissible and even preferable provided that it does not cause significant harm to the body.
Q3: Some men take off their clothes and become partially naked while beating theirs chests in front of women. Is it permissible?
A3: It is necessary for women to avoid looking. Of course, if men know that women would look at their bodies, it is not permissible for them (men) to take off their clothes.
Q4: Are beating chest and Zanjir Zani out of Riya (insincerity) permissible?
A4: They should avoid insincerity while performing rituals.
Q5: Some people are seen half-naked during Muharram while flagellating themselves in an extreme manner in front of non-Mahram individuals? Is this act permissible?
A5: Chest beating tradition in its customary and normal form does not have to be opposed, however, in the said situation women should avoid looking.
Blood Matam (Qama Zani)
Q1: I have a question about blood matam or what is known as Qama zani or Tatbir? What is your ruling about using blades, knives, swords and spilling blood during mourning rituals? Is it permissible?
A1: The philosophy of mourning during ‘Ashura, is to respect the symbols of Religion and remember the suffering of Imam Hussain (a), his companions, and his uprising to defend Islam and prevent the destruction of the religion by Bani Umayyad dynasty. These rites must be done in such a way that in addition to serving that purpose, it draws the attention of others to these lofty goals. Obviously, Qama Zani does not have such a role and the enemies of Ahlalbayt misuse it. So those actions which are not understandable for the enemies of Islam and causes misunderstanding and contempt for the religion must be avoided.
Mourning
Q: Is it legally preferable to wear black clothes when mourning for Imam Husain and other Infallible Imams (a.s.)?
A: Since it is considered respecting the signs (of Allah), it has legal preference. Moreover, prominent scholars such as late Ayatollah al-Uzma Broujardi used to wear black Qabaa (a long robe worn under Aba) during Ashura.
Q: Is wearing black clothes makrooh (undesirable) when lamenting and mourning over the martyrdom of the Infallibles?
A: Since wearing black clothes is a sign of expressing grief and lamentation, which is highly desirable, therefore praying in a black cloth is not makrooh.
Q: What is the fatwa about the flags which are used during Azadari (lamentation) ceremonies? Some of these flags have lines and drawings on them.
A: It is permissible to use them in Azadari.
Q: Is beating drum allowed during Azadari?
A: If drum is beaten in such a manner that it is suitable for gatherings of amusement and entertainment or is considered contempt and disrespect to the Infallible Imams, it is haram, or else, there would be no objection in it.
Q: What is your ruling on a group of mourners using musical instruments in a competing manner against another group?
A : The ruling about using musical instruments was explained above. Rivalry or competition however does not change the answer. Rather, if a competition is out of Reya (insincerity) and there is no intention of seeking nearness to God, and it causes unrest for others, it is not permissible.
Q: What is the philosophy behind the mourning for Imam Hussain (as)?
A: The philosophy of lamentation for Imam Hussain (as) is to revere the divine observances and to commemorate the Imam’s innocence and self-sacrifice as well as that of his companions, in their defence of Islam. If there had not been such an uprising, the Umayyad dynasty would have completely annihilated Islam. It is for this reason that to remember the tragedy of Ashura is cited in numerous narrations.
Q. Which Imam (as) or his companion was the first to practise any form of masochism such as hitting oneself with metal chains (zanjeer), or make a flag -referring to Al-‘Abbas’ flag- (‘alam) as a sign of the events of Karbala, or to produce and carry the coffin (taboot) among the believers during the commemoration in order to pay respect for Imam Hussain (as)?
A : These are all symbolic styles of mourning, and it is not necessary to have a certain decree issued by our Imams (as) for the way in which we mourn. However these ceremonies should be undertaken in a way whereby they keep alive the memory of Ashura, attract the attention of others and incorporate all the ritualistic aspects. They should not be conducted in such a way as to cause misunderstanding or blasphemy against Islam, the holy dignity of Imam Hussain (as) or his companions. We should avoid deeds, which are not understandable to the enemies of Islam. Commemorating ceremonies do not necessarily need to be ordered by the Immaculate Imams (as), as they are held today. The important message of practising (zanjeer) is that we are all Shi’ite, and are ready to devote ourselves in the path of Allah (swt) and for Imam Hussain’s (as) purpose
Zanjir-zani
Q1: Is Zanjir Zani permissible during Muharram? It should be noted that by the word Zanjir Zani I mean Zanjir (chain) only with no knives or cutting tools attached to it. (Many people in the Indian sub-continent ask this question while they mean the chain with knives. Unlike the sub-continent, the word Zanjir is used to give its literal meaning in Iran and other Persian countries).
A1: Zanjir-zani is permissible.
Lihat http://www.lankarani.org/eng/index.html
Nota Tambahan Taqlid Rahbar dan Ayatullah Fadhlallah:
Many of the male and female participants congregate together in public for ceremonial chest beating (matam) as a display of their devotion to Imam Husayn and in remembrance of his suffering. In some Shi'a societies, such as those in Bahrain, Pakistan, India, Afghanistan, Lebanon and Iraq, some male participants incorprate knives or razors swung upon chains into their matam. This practice is permissible by major Usooli Ayatollah such as Muhammad Shirazi, Lankarani and Sistani, however some major scholars such as Khameini have banned it in Iran temporarily, while others such as Fadlallah deem it permanently impermissible. In general however, the act is controversial. It is also considered by other Muslim groups a major sin
Q1: Why do Shiites beat their chests during Muharram? What is the reason?
A1: Beating chest is one of the important expressions of lamentation and a means of showing disgust and hatred to the oppressors. Not only it is not a mistake but it also plays an important role in reviving and continuing the goals of the Imam (a.s.).
Q2: It so happens that people beat their chests and their backs with chains and their bodies turn red and even start bleeding. Is it permissible?
A2: It is permissible and even preferable provided that it does not cause significant harm to the body.
Q3: Some men take off their clothes and become partially naked while beating theirs chests in front of women. Is it permissible?
A3: It is necessary for women to avoid looking. Of course, if men know that women would look at their bodies, it is not permissible for them (men) to take off their clothes.
Q4: Are beating chest and Zanjir Zani out of Riya (insincerity) permissible?
A4: They should avoid insincerity while performing rituals.
Q5: Some people are seen half-naked during Muharram while flagellating themselves in an extreme manner in front of non-Mahram individuals? Is this act permissible?
A5: Chest beating tradition in its customary and normal form does not have to be opposed, however, in the said situation women should avoid looking.
Blood Matam (Qama Zani)
Q1: I have a question about blood matam or what is known as Qama zani or Tatbir? What is your ruling about using blades, knives, swords and spilling blood during mourning rituals? Is it permissible?
A1: The philosophy of mourning during ‘Ashura, is to respect the symbols of Religion and remember the suffering of Imam Hussain (a), his companions, and his uprising to defend Islam and prevent the destruction of the religion by Bani Umayyad dynasty. These rites must be done in such a way that in addition to serving that purpose, it draws the attention of others to these lofty goals. Obviously, Qama Zani does not have such a role and the enemies of Ahlalbayt misuse it. So those actions which are not understandable for the enemies of Islam and causes misunderstanding and contempt for the religion must be avoided.
Mourning
Q: Is it legally preferable to wear black clothes when mourning for Imam Husain and other Infallible Imams (a.s.)?
A: Since it is considered respecting the signs (of Allah), it has legal preference. Moreover, prominent scholars such as late Ayatollah al-Uzma Broujardi used to wear black Qabaa (a long robe worn under Aba) during Ashura.
Q: Is wearing black clothes makrooh (undesirable) when lamenting and mourning over the martyrdom of the Infallibles?
A: Since wearing black clothes is a sign of expressing grief and lamentation, which is highly desirable, therefore praying in a black cloth is not makrooh.
Q: What is the fatwa about the flags which are used during Azadari (lamentation) ceremonies? Some of these flags have lines and drawings on them.
A: It is permissible to use them in Azadari.
Q: Is beating drum allowed during Azadari?
A: If drum is beaten in such a manner that it is suitable for gatherings of amusement and entertainment or is considered contempt and disrespect to the Infallible Imams, it is haram, or else, there would be no objection in it.
Q: What is your ruling on a group of mourners using musical instruments in a competing manner against another group?
A : The ruling about using musical instruments was explained above. Rivalry or competition however does not change the answer. Rather, if a competition is out of Reya (insincerity) and there is no intention of seeking nearness to God, and it causes unrest for others, it is not permissible.
Q: What is the philosophy behind the mourning for Imam Hussain (as)?
A: The philosophy of lamentation for Imam Hussain (as) is to revere the divine observances and to commemorate the Imam’s innocence and self-sacrifice as well as that of his companions, in their defence of Islam. If there had not been such an uprising, the Umayyad dynasty would have completely annihilated Islam. It is for this reason that to remember the tragedy of Ashura is cited in numerous narrations.
Q. Which Imam (as) or his companion was the first to practise any form of masochism such as hitting oneself with metal chains (zanjeer), or make a flag -referring to Al-‘Abbas’ flag- (‘alam) as a sign of the events of Karbala, or to produce and carry the coffin (taboot) among the believers during the commemoration in order to pay respect for Imam Hussain (as)?
A : These are all symbolic styles of mourning, and it is not necessary to have a certain decree issued by our Imams (as) for the way in which we mourn. However these ceremonies should be undertaken in a way whereby they keep alive the memory of Ashura, attract the attention of others and incorporate all the ritualistic aspects. They should not be conducted in such a way as to cause misunderstanding or blasphemy against Islam, the holy dignity of Imam Hussain (as) or his companions. We should avoid deeds, which are not understandable to the enemies of Islam. Commemorating ceremonies do not necessarily need to be ordered by the Immaculate Imams (as), as they are held today. The important message of practising (zanjeer) is that we are all Shi’ite, and are ready to devote ourselves in the path of Allah (swt) and for Imam Hussain’s (as) purpose
Zanjir-zani
Q1: Is Zanjir Zani permissible during Muharram? It should be noted that by the word Zanjir Zani I mean Zanjir (chain) only with no knives or cutting tools attached to it. (Many people in the Indian sub-continent ask this question while they mean the chain with knives. Unlike the sub-continent, the word Zanjir is used to give its literal meaning in Iran and other Persian countries).
A1: Zanjir-zani is permissible.
Lihat http://www.lankarani.org/eng/index.html
Nota Tambahan Taqlid Rahbar dan Ayatullah Fadhlallah:
Many of the male and female participants congregate together in public for ceremonial chest beating (matam) as a display of their devotion to Imam Husayn and in remembrance of his suffering. In some Shi'a societies, such as those in Bahrain, Pakistan, India, Afghanistan, Lebanon and Iraq, some male participants incorprate knives or razors swung upon chains into their matam. This practice is permissible by major Usooli Ayatollah such as Muhammad Shirazi, Lankarani and Sistani, however some major scholars such as Khameini have banned it in Iran temporarily, while others such as Fadlallah deem it permanently impermissible. In general however, the act is controversial. It is also considered by other Muslim groups a major sin
Friday, January 09, 2009
Wednesday, January 07, 2009
Azadari
The Holy Prophet (S.A.W.) said: Surely, there exists in the hearts of the Mu'mineen, with respect to the martyrdom of Husain (A.S.), a heat that never subsides.
Mustadrak al‑Wasail vol 10 pg. 318
Hadith 2:
Imam Redha (A.S.) said:
The one for whom the day of A'ashura is a day of tragedy, grief and weeping, Allah The Mighty, The Glorious, shall make the Day of Judgment, a day of joy and happiness for him.
Bihar al‑Anwar, vol. 44, pg. 284
Hadith 3:
Imam Redha (A.S.) said
With the advent of the month of Muharram, my father Imam Kadhim (A.S.) would never be seen laughing; gloom and sadness would overcome him for (the first) ten days of the month; and when the tenth day of the month would dawn, it would be a day of tragedy, grief and weeping for him.
Amaali Saduq, pg. 111
Hadith 4:
The Holy Prophet (S.A.W.) said:
O' Fatimah! Every eye shall be weeping on the Day of Judgment except the eye which has shed tears over the tragedy of Husain (A.S.) for surely, that eye shall be laughing and shall be given the glad tidings of the bounties and comforts of Paradise.
Bihar al‑Anwar, vol. 44 pg. 193.
Hadith 5:
Imam Redha (A.S.) said (to one of his companions):
If you desire that for you be the reward equivalent to that of those martyred along with Husain (A.S.), then whenever you remember him say: ' Oh! Would that I had been with them! A great achievement would I have achieved'.
Wasaail al‑Shia'h, vol. 14, pg. 501.
Hadith 6:
Abu Haroon al‑Makfoof said:
I presented myself before Imam Sadiq (A.S.) whereupon he said to me: "Recite for me a poetry" and so I recited for him. He said "Not in this manner. Recite for me as you recite poems and elegies over the grave of Husain (A.S.)" and so I recited for him (again).
Bihar al Anwar vol 44, pg. 287.
Mustadrak al‑Wasail vol 10 pg. 318
Hadith 2:
Imam Redha (A.S.) said:
The one for whom the day of A'ashura is a day of tragedy, grief and weeping, Allah The Mighty, The Glorious, shall make the Day of Judgment, a day of joy and happiness for him.
Bihar al‑Anwar, vol. 44, pg. 284
Hadith 3:
Imam Redha (A.S.) said
With the advent of the month of Muharram, my father Imam Kadhim (A.S.) would never be seen laughing; gloom and sadness would overcome him for (the first) ten days of the month; and when the tenth day of the month would dawn, it would be a day of tragedy, grief and weeping for him.
Amaali Saduq, pg. 111
Hadith 4:
The Holy Prophet (S.A.W.) said:
O' Fatimah! Every eye shall be weeping on the Day of Judgment except the eye which has shed tears over the tragedy of Husain (A.S.) for surely, that eye shall be laughing and shall be given the glad tidings of the bounties and comforts of Paradise.
Bihar al‑Anwar, vol. 44 pg. 193.
Hadith 5:
Imam Redha (A.S.) said (to one of his companions):
If you desire that for you be the reward equivalent to that of those martyred along with Husain (A.S.), then whenever you remember him say: ' Oh! Would that I had been with them! A great achievement would I have achieved'.
Wasaail al‑Shia'h, vol. 14, pg. 501.
Hadith 6:
Abu Haroon al‑Makfoof said:
I presented myself before Imam Sadiq (A.S.) whereupon he said to me: "Recite for me a poetry" and so I recited for him. He said "Not in this manner. Recite for me as you recite poems and elegies over the grave of Husain (A.S.)" and so I recited for him (again).
Bihar al Anwar vol 44, pg. 287.
Hikayat Karbala dari Tanah Melayu
Oleh Irman Abdurrahman
Sebuah hikayat dari ranah kesusasteraan Melayu lama berkisah tentang peristiwa Karbala. Warisan budaya yang terlupakan.
Meski tampak lusuh, kitab itu tetap terawat. Beberapa bagian yang robek coba ditautkan dengan sejenis perekat. Tiap-tiap lembarnya menebarkan wangi kapur barus yang menjaganya dari kerusakan. Tersimpan dalam ruangan bersuhu 16°C, seperti juga kisah di dalamnya, Hikayat Muhammad Hanafiah, nama kitab itu, memang tak lekang oleh zaman.
Tak banyak orang tahu bahwa hikayat berusia hampir empat ratus tahun ini menyimpan kisah sedih keluarga Rasulullah saw: kisah pembunuhan Hasan karena racun dan Husain di padang Karbala. Boleh jadi inilah catatan paling awal dalam bahasa melayu tentang peristiwa berdarah tersebut. Liau Yock Fang dari Jurusan Pengajian Melayu, Universitas Nasional Singapura, mencatat bahwa fragmen (sepanjang 60 halaman) hikayat ini sudah tersimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge, sejak tahun 1604. Dalam salah satu bagian naskah yang dimiliki Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), tertulis tahun tahun 1191 H atau bertepatan dengan 1771 M sebagai waktu penyalinan naskah.
PNRI memiliki sembilan naskah Hikayat Muhammad Hanafiah. Beberapa halaman dari tiga naskah di antaranya telah lapuk dan hampir tidak dapat dibaca. Selebihnya naskah dalam kondisi yang baik dan tulisan di dalamnya jelas terbaca. Kesembilan bagian naskah ditulis di atas kertas Eropa dengan ukuran naskah rata antara 25 X 20 cm sampai 33 X 21 cm dan banyak baris sekitar 15 sampai 21 baris. Jumlah halaman bervariasi dari 170-an halaman sampai ada yang berjumlah 600 halaman. Semuanya ditulis dengan tulisan Arab Jawi dan dalam bahasa Melayu.
Sebagian besar peneliti meyakini Hikayat Muhammad Hanafiah berasal dari sumber Arab. Tapi, Filolog tenar asal Belanda, Van Ronkel punya cerita lain. Setelah menyelediki fragmen Cambridge, Ronkel berpendapat bahwa hikayat ini merupakan terjemahan dari bahasa Persia. Alasannya, pujian yang melimpah kepada kedua putra Ali, Hasan, dan Husain, pemakaian gelar pengembara untuk Nabi saw yang dalam bahasa Persia adalah nabi, dan kesesuaian isinya dengan dua naskah versia Persia yang tersimpan di British Museum. L.F. Brakel yang pernah menyunting Hikayat Muhammad Hanafiah untuk memperoleh gelar doktor kesusasteraannya dari Universitas Leiden mengukuhkan pendapat Van Ronkel dengan beberapa bukti baru.
Pertama, bahwa pembagian bab dalam naskah Melayu sama dengan naskah Persia. Kedua, dalam bahasa Persia, hubungan kekerabatan dalam bahasa Arab pada nama Muhammad bin Hanafiah, dinyatakan oleh apa yang dinamakan ezafat:e 'yang tidak dinyatakan' sehingga menjadi Muhammad Hanafiah. Karena mengabaikan ezafat:e tadi, penyalin Melayu telah salah menuliskan nama tersebut, yakni Muhammad Hanafiah bukan Muhammad bin Hanafiah. Ketiga, banyak nama orang yang ditulis dalam bentuk Persia, seperti Ummi Kulsum dan Immi Salamah.
Meskipun demikian, Brakel juga tidak memungkiri kemungkinan hikayat ini merujuk kepada sebuah kitab sejarah dalam bahasa Arab, Maqtal al-Husain, karya Abu Mikhnaf. Karya Abu Mikhnaf ini merupakan catatan paling awal karena sebagian besar sejarahwan Muslim merujuknya ketika menulis tentang pembataian keluarga Nabi saw tersebut.
Tiap-tiap naskah Hikayat Muhammad Hanafiah berkisah tentang hal yang berbeda meskipun masih berikisar seputar terbunuhnya kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut. Naskah pertama paling banyak mengisahkan tentang gugurnya anak-anak Ali, seperti Hasan dan Husain di Karbala pada masa kekuasaan Yazid. Meskipun jelas, beberapa bagian tampak sudah lapuk dan robek. Isi naskah pertama ini sudah pernah ditransliterasi dan diberi penjelasan oleh seorang peneliti Belanda, Prof. Pijnappel pada 1870. Sayangnya PNRI tidak memiliki hasil penelitian itu.
Naskah kedua mengawali cerita dengan kisah nabi-nabi lama, mistik Nur Muhammad, kisah Fatimah dari Siria, masa muda Nabi Muhammad, pernikahan Nabi saw, hingga zaman Khalifah Ali. Naskah ketiga mengisahkan persahabatan Muhammad bin Hanafiah dengan beberapa orang. Ia mendapat luka dalam perang tetapi dengan keajaiban lukanya sembuh. Yazid dapat mengalahkan musuh-musuhnya lalu kemenakannya ditunjuk menjadi raja Damaskus dan kawin dengan cucu Abu Bakar. Akhirnya Muhammad Hanafiah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya seorang diri.
Berbeda dengan naskah-naskah yang lain, naskah keempat Hikayat Muhammad Hanafiah yang dimiliki PNRI memiliki cerita yang sangat berbelit-belit. Selain itu, bahasanya pun sukar dipahami. Naskah kelima merupakan bagian terpanjang, yakni mencapai 600 halaman. Tebalnya naskah ini, salah satunya, disebabkan oleh hurufnya yang sangat besar. Satu hal lagi, selain naskah keenam, yang kelima ini merupakan bagian yang memuat waktu penyalinan dengan lengkap, yaitu 11 Rabi'ul Awwal 1288 H.
Naskah yang keenam yang bertanggal 6 Sya'ban 1281 H ini memuat kisah kematian Yazid pada bab III, tetapi di dalamnya, tidak diceritakan kemenangan Muhammad bin Hanafiah yang banyak dibicarakan dalam naskah-naskah lain. Naskah ketujuh merupakan sebuah eksemplar yang baik meski sebagian rusak. Naskah ini mengisahkan tentang perikehidupan Nabi saw secara panjang lebar.
Naskah kedelapan dimulai dengan uraian tentang kewajiban-kewajiban bagi para pengikut Nabi saw, sementara kelahiran Hasan dan Husain baru terdapat pada halaman 88. Naskah terakhir memuat cerita peperangan antara Ali dengan Muawiyah, pembunuhan Hasan dengan racun dan Husain di padang Karbala oleh Yazid. Kemudian dilanjutkan dengan pembalasan dari Muhammad bin Hanafiah kepada Yazid. Yazid dapat dikalahkan tetapi Muhammad bin Hanafiah malang juga nasibnya. Ia mati bersama musuh-musuhnya dalam sebuah gua.
Dengan kandungan yang sarat nilai, naskah-naskah Hikayat Muhammad Hanafiah jelas sangat berharga untuk diteliti. Tetapi penelitian filologi yang menuntut keahlian interdisiplin tampaknya kurang diminati para peneliti dan mahasiswa kita. Justru peneliti asing yang banyak meneliti-meneliti naskah-naskah tersebut. Ibarat peribahasa "kacang lupa akan kulitnya", kita kerap memandang sebelah mata terhadap warisan budaya nenek moyang.
Dan Muawiyah pun Menolak Beristri
Dari banyak kisah yang dituturkan dalam Hikayat Muhammad Hanafiah, peristiwa Karbala, termasuk cerita yang mengawali dan mengikutinya, paling banyak menyita halaman dari hikayat ini.
Bagian kedua ini biasa disebut dengan Hikayat Maktal Husain. Berikut petikannya yang sengaja ditransliterasi sesuai ragam bahasa aslinya.
Tatkala Husain masih muda, ada malaikat yang kedua sayapnya tertunu, turun ke dunia. Husain menyapu bahu malaikat itu dengan tangannya. Dengan takdir Allah, sayap malaikat itu pun baik lalu ia kembali ke udara. Jibrail berkata bahwa malaikat itu tidak akan turun ke bumi melainkan pada waktu Husain dibunuh oleh segala munafik. Adapun semasa Hasan dan Husain masih kecil itu, Jibrail selalu turun ke dunia bermain-main dengan mereka. Sekali peristiwa, sehari sebelum hari raya, Jibrail membawa pakaian untuk Hasan dan Husain. Hasan memilih pakaian hijau dan diramalkan akan mati kena racun; Husain memilih pakaian merah dan diramalkan mati terbunuh di Padang Karbala. Muawiyah mendengar bahwa dari keturunannya akan lahir pembunuh cucu Muhammad dan bersumpah tidak mau beristeri. Pada suatu malam, ia pergi buang air dan beristinjak dengan batu. Zakarnya disengat oleh kala. Ia tidak terderita sakitnya. Menurut tabib, sakitnya hanya akan hilang jika ia berkawin. Maka berkawinlah ia dengan seorang perempuan tua yang tidak boleh beranak lagi. Dengan takdir Allah, perempuan tua itu melahirkan seorang anak yang diberi nama Yazid.
Setelah Ali wafat, Muawiyah menjadi raja. Sekali peristiwa, Muawiyah mengirim seorang utusan pergi meminang Zainab, anak Jafar Taiyar untuk menjadi isteri anaknya, yaitu Yazid. Zaainab menolak pinangan Yazid, tetapi menerima pinangan Amir Hasan. Karena itu Yazid pun berdendam dalam hatinya, hendak membunuh Amir Hasan dan Amir Husain, bila ia naik kerajaan. Sekali peristiwa, Yazid ingin berkawin dengan isteri Abdullah Zubair yang sangat baik parasnya. Muawiyah berja menipu Abdullah Zubair menceraikan isterinya. Isteri Abdullah Zubair tiada mau menjadi isteri Yazid. Sebaiknya, isteri Abdullah Zubair itu berkawin dengan Amir Husain. Yazid makin berdendam dalam hatinya, "Jika aku kerajaan, yang Hasan dan Husain itu kubunuh juga, maka puas hatiku."
Maka berapa lamanya, Muawiyah pun matilah dan kerajaan pun jatuh ke tangan Yazid. Mulailah Yazid melaksanakan niatnya untuk membunuh Amir Hasan dan Amir Husain. Ia berhasil memujuk seorang hulubalang di Madinah (menurut suatu cerita, salah seorang isteri Hasan sendiri) meracuni Hasan. Setelah Hasan wafat, pikirannya tidak lain daripada membunuh Husain saja. Ia mengirim surat kepada Utbah, seorang hulubalang di Madinah, dan memintanya membunuh Husain dengan menjanjikan harta dan anugerah. Seorang hulubalang yang bernama Umar Saad Malsum juga dikirim untuk membunuh Utbah. Biarpun begitu, Utbah masih tidak berani membunuh Husain. Katanya jika Husain ada di dalam Madinah, mereka tidak dapat mengalahkannya. Karena itu mereka meminta raja Kufah, Ubaidullah Ziyad namanya, supaya menipu Husain ke Kufah. Husain menerima jemputan raja Kufah untuk pergi ke Kufah. Ummi Salamah mengingatkan Husain tentang bahaya yang mengancamnya. Pada malam itu Husain juga bermimpi berjumpa dengan segala nabi dan malaikat. Nabi Muhammad memberitahu bahwa surga sudah berhias menantikan ketibaannya. Sungguhpun begitu, Husain berangkat juga ke Kufah bersama-sama dengan pengikutnya yang tidak banyak itu.
Hatta berapa lamanya sampailah mereka ke suatu tempat. Unta dan kuda Husain merebahkan dirinya, tiada mau berjalan lagi. Mereka lalu mendirikan kemah di situ. Adapun segala kayu yang mereka tetak, berdarah balak. Baharulah mereka ketahui bahwa tempat itu ialah Padang Karbala, tempat kematian Husain yang diramalkan Nabi Muhammad dahulu. Hatta mereka pun kekurangan air, karena air sungai sudah ditebat oleh tentera Yazid. Air yang di dalam kendi kulit juga sudah terbuang, karena digorek tikus. Apa boleh buat. Terpaksalah mereka menahan dahaga yang sangat. Maka mulai peperangan itu. Pengikut Husain, satu demi satu syahid. Akhirnya anaknya sendiri, Kasim dan Ali Akbar, juga mati. Barulah ketika itu Husain teringat meminta bantuan kepada saudaranya, Muhammad Hanafiah, yang menjadi raja Buniara. Sesudah itu ia pun terjun ke dalam medan perang. Banyak musuh dibunuhnya. Sekali peristiwa, ia berjaya menghampiri sungai. Biarpun begitu, ia tidak meminum air itu, karena teringat kepada sahabat taulannya yang mati syahid disebabkan dahaga itu. Maka Husain pun lemahlah lalu gugur ke bumi. Betapa pun demikian, tiada seorang pun berani menghampirinya. Akhirnya Samir Laain yang susunya seperti susu anjing lagi hitam itulah yang maju ke depan dan memenggal leher Husain. Adapun Husain syahid itu pada sepuluh hari bulan Muharam, harinya pun hari Jumaat. Tatkala Husain syahid itu, arasy dan kursi gempar, bulan dan matahari pun redup, tujuh hari tujuh malam lamanya alam pun kelam kabut.
Setelah Husain syahid, maka segala isi rumah Rasul Allah terampaslah oleh tentera Yazid. Akan tetapi, seorang pun tiada berani menghampiri Ummi Salamah. Seorang lasykar yang merampas anak perempuan Ummi Salamah, dengan kudrat Allah, matanya menjadi buta. Yazid berjanji akan memberi diat kematian Husain, jika Ummi Salamah rela dengan dia. Ummi Salamah menolak. Yazid sangat marah. Apabila Fatimah, anak perempuan Ummi Salamah, meminta air minum, yang diberikannya ialah kepala Husain yang diceraikan dari badannya.
Tuesday, January 06, 2009
Sunday, January 04, 2009
Air Mata Husin, Cucu Rasulullah saw
KARBALA DAN IMAM HUSAIN
DALAM KESUSASTRAAN PERSIA DAN INDIA MUSLIM
(Oleh : Annemarie Schimmel)
Universitas Harvard
Al-Serat, Vol. XII (1986)
Saya masih ingat kesan mendalam yang saya rasakan ketika membaca puisi pertama bahasa Parsi yang saya baca dalam kaitan dengan kejadian-kejadian tragis di Karbala. Puisi tersebut adalah elegi karangan Qa’ani, yang diawali dengan kata-kata berikut :
Hujan apa ? Darah
Siapa ? Mata
Bagaimana ? Siang-malam
Mengapa ? Karena duka
Duka karena siapa ?
Duka karena raja Karbala.
Puisi ini, dengan gaya tanya-jawabnya yang indah, mengungkapkan banyak hal dalam kejadian-kejadian dramatis Karbala dan perasaan-perasaan yang dialami oleh seorang Muslim yang saleh manakala dia memikirkan kesyahidan cucu tercinta (Husain) di tanga tentara Bani Umayyah.
Tema penderitaan dan kesyahidan menempati peran sentral dalam sejarah agam sejak zaman yang paling dini. Sudah sejak dalam mitos-mitos kuno di Timur Dekat, kita telah mendengar tentang seorang pahlawan yang terbunuh, yang kematiannya menjamin lahirnya kembali kehidupan. Nama-nama Attis dan Osiris dalam tradisi Babilonia dan Mesir masing-masing merupakan contoh terbaik tentang tilikan tajam bangsa-bangsa kuno, bahwa tanpa kematian tidak akan ada kelanjutan kehidupan, dan bahwa darah yang tertumpahdemi tujuan yang suci adalah lebih berharga daripada apapun yang lain. Pengorbanan adalah sarana untuk mencapai tahap-tahap kehidupan yang lebih tinggi dan lebih luhur. Memberikan dengan ikhlas sebagian dari harta kekayaan yang kita miliki, atau mengorbankan anggota-anggota keluarga, akan meningkatkan derajat keagamaan seseorang. Kisah Injil dan al-Qur’an tentang Ibrahim yang demikian percaya kepada Tuhan sehingga, tanpa menanyakan apapun, bersedia mengorbankan anak lelaki satu-satunya, menunjuk kepada pentingnya pengorbanan seperti itu. Iqbal pastilah benar ketika dia menggabungkan, dalam sebuah puisi yang terkenal –Bal-I-Jibril-(1936)- pengorbanan Ismail dan kesyahidan Husain, yang keduanya merupakan awal dan akhir kisah tentang Ka’bah.
Dengan memperhitungkan pentingnya pengorbanan dan penderitaan bagi perkembangan manusia, tidaklah mengherankan jika sejarah Islam telah memberikan tempat yang sentral kepada kematian cucu Nabi tercinta Husain di medan perang, dan seringkali menggabungkan kejadian itu dengan kematian saudara laki-lakinya, Hasan, yang diakibatkan oleh racun. Dalam kesusastraan populer kita sering menemukan Hasan dan Husain ditampilkan sebagai berperan serta dalam pertempuran Karbala, yang secara historis adalah keliru, namun secara psikologis benar.
Di sini bukanlah tempatnya untuk mendiskusikan perkembangan keseluruhan genre puisi martsiyah dan ta’ziyah di dunia Persia dan Indo-Persia, atau dalam tradisi Turki populer. Tapi adalah menarik untuk melihat sekilas beberapa bait puisi dalam tradisi Islam Timur yang umumnya mengungkapkan kepedulian para penyair Sunni terhadap nasib Husain, dan mengenakan, pada saat yang sama, kecenderungan kaum Sufi untuk memandangnya sebagai model penderitaan yang begitu sentral dalam pertumbuhan jiwa.
Nama Husain muncul beberapa kali dalam karya penyair sufi besar pertama Iran, Sana’I (w. 1131). Di sini, nama Husain dapat ditemukan di sana-sini dalam kaitan dengan keberanian dan kerelaan berkorban, dan Sana’I melihat dalam dirinya suatu prototip sang syahid, yang jauh lebih tinggi dan lebih penting daripada semua syahid yang pernah dan masih ada di dunia :
Agamamu adalah Husain-mu, kerakusan dan nafsu keinginanmu
adalah babi-babi dan angjing-anjingmu
Engkau bunuh agamamu, dan kau pelihara babi-babi dan anjing-anjingmu.
(Divan, hal. 655).
Ini berarti bahwa manusia telah terjerumus ke dalam jurang kemerosotan yang sedemikian dalam sehingga dia hanya memikirkan tujuan-tujuan dan keinginan-keinginannya sendiri saja, dan melakukan segala sesuatu untuk memanjakan aspek-aspek kehidupan materialnya, sementara agamanya, yakni aspek spiritual kehidupannya, ditelantarkan tanpa makanan, menjadi layu, persis seperti halnya Husain dan para syuhada Karbala terbunuh setelah tak seorang pun mau memberi air minum kepada mereka di padang pasir. Gagasan yang kuat ini menggema dalam bait-bait yang lain, baik dalam Divan maupun Hadiqah al-Haqiqah. Tetapi kita harus berhati-hati dalam menilai pujian-pujian yang panjang kepada Husain dan penggambaran tentang Karbala sebagaimana yang ditemukan dalam Hadiqah, karena tampaknya kedua unsur ini tidak terdapat dalam manuskrip-manuskrip tertua dari karya tersebut, dan mungkin telah disisipkan pada masa yang terkemudian. Akan tetapi, hal ini tidaklah menjadi kepedulian kita di sini. Sebab nama sang pahlawan, yakni Husain, ditemukan dalam salah satu puisi sentral Sana’i dalam Divan, di mana sang penyair dalam citraan-citraan yang agung menggambarkan perkembangan manusia dan masa-masa panjang penderitaan yang dituntut bagi perkembangan segala sesuatu yang ingin meraih kesempurnaan, Di sinilah Sana’i melihat dalam “jalan agama” syahid-syahid yang dahulu mati dan kini hidup, yaitu syahid-syahid dan terbunuh oleh pedang seperti halnya Husain, dan mereka yang mati oleh racun seperti halnya Hasan (Divan, 485).
Kecenderungan untuk melihat Husain sebagai model kesyahidan dan keberanian tentu saja terus berlanjut dalam puisi yang dikarang sesudah Sana’i oleh sufi-sufi Persia dan Turki, yang paling menarik diantaranya adalah satu baris dalam Divan-nya `Attar (hampir 376 H) dimana dia menyeru sang pemula yang baru menempuh jalan agar terus melangkah menuju tujuan. Katanya :
Jadilah seorang Husain, atau seorang Manshur.
Yang dimaksud Manshur di sini adalah Husain b. Manshur al-Hallaj, pemimpin para syuhada sufi Islam, yang dibunuh dengan kejam di Baghdad pada tahun 922 M. Seperti nama julukannya, Husain b. `Ali, dia menjadi model bagi para sufi. Dia adalah pecinta yang menderita, dan dalam sejumlah yang cukup banyak dari puisi-puisi sufi, namanya muncul berdampingan dengan nama Husain. Keduanya tenggelam dalam cinta kepada Tuhan. Keduanya mengorbankan diri di Jalan Cinta Ilahi. Karena itu keduanya merupakan pecinta-pecinta Tuhan yang ideal, yang harus diteladani oleh setiap Muslim yang saleh. Ghalib dengan piawainya mengisyaratkan kepada kombinasi ini dalam tawhid qasidah-nya :
Tuhan telah menempatkan para pecinta ekstatik seperti Husain dan Manshur di kalung-kalung tali dan tiang gantungan, dan Dia menempatkan para pejuang di Jalan Allah seperti Husain dan `Ali di pinggiran-pinggiran mata pedang dan ujung-ujung tombak. Dengan menjadi syuhada, mereka mendapatkan kehidupan dan kebahagiaan yang abadi dan menjadi saksi-saksi atas kekuasaan Tuhan yang misterius
Tradisi ini khususnya terasa kuat dalam dunia Turki, dimana nama Husain maupun nama Manshur sering muncul dalam nyanyian-nyanyian sufi.
Tradisi Turki, terutama pada tarekat Bektasiyyah yang belakangan, sangat berhutang budi kepada Islam Syi’ah. Tapi tampaknya sudah sejak dalam beberapa nyanyian sufi populer yang paling awal di Turki, yakni yang dikarang oleh Yunus Emre pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, cucu-cucu Nabi memainkan peran khusus. Dalam sebuah nyanyian indah karangan Yunus, mereka digambarkan sebagai “air mancurnya para syuhada”, “air mata para wali” serta “anak-anak domba Ibu Fatimah.” Kedua cucu Nabi itu, sebagai “raja delapan surga,” dipandang sebagai penolong-penolong yang berdiri di pinggir telaga al-Kawtsar dan membagi-bagikan air kepada orang-orang yang kehausan, suatu kebalikan dari Husain yang menderita kehausan di padang pasir Karbala yang kering-kerontang.” (Yunus Emre Divani, hal. 569).
Dongeng terkenal yang menurutnya Nabi SAAW melihat Jibril membawa dua helai pakaian, yang satu berwarna merah dan yang lain hijau, untuk kedua orang cucunya, dan beliau diberitahu bahwa warna kedua pakaian itu menunjuk kepada dua cara kematian mereka, yaitu masing-masing oleh pedang dan racun, disebutkan dalam nyanyian-nyanyian Turki masa awal, sebagaimana dongeng itu juga menjadi bagian pokok dari manaqibah Sindhi populer yang hingga kini masih dinyanyikan di lembah Indus. Hal yang sama-sama terdapat dalam kedua tradisi tersebut adalah cerita-cerita tentang bagaimana kedua anak itu menaiki punggung kakek mereka, Nabi SAAW, dan bagaimana beliau membelai-belai mereka. Jadi, dalam nyanyian-nyanyian awal Turki, Hasan san Husain muncul dalam berbagai citraan yang umumnya terkenal. Namun untuk menekankan peran khusus mereka, Yunus Emre menyebut keduanya “kedua cuping `Arasy Tuhan.” (Divan, hal. 569).
Citraan tersebut bahkan menjadi lebih berwarna-warni dalam abad-abad selanjutnya ketika watak Syi’ah dari tarekat Bektasyiyah semakin meningkat dan dirasakan dalam ungkapan ritual maupun puitis. Husain b. `Ali adalah “rahasia Tuhan,” “cahaya mata al-Musthafa” (demikian dikatakan oleh Seher Abdal, abad ke-16), dan penyair sezamannya, Hayreti, dalam sebuah martsiyah yang indah, menyebutnya “qurban perayaan jihad akbar.” Bukanlah lehernya, yang dulu sering diciumi Nabi, telah dipenggal oleh pedang?
Hari ini penghuni langit dan bumi meneteskan air mata.
Dan mereka menjadi kacau-balau seperti rambutmu, wahai Husain.
Fajar mengucurkan darahnya karena berduka bagi Husain, dan bunga-bunga tulip merah menampakkan warna darah dan memperlihatkan tanda-tanda kesedihan hati mereka.... (Ergun, Bektasi sairleri, hal. 95).
Tradisi Turki dan tradisi dalam bahasa-bahasa regional di anak benua India adalah sangat mirip. Marilah kita menengok perkembangan martsiyah, bukan dalam bahasa-bahasa sastra yang utama, melainkan di bagian-bagian yang lebih terpencil dari anak benua tersebut. Sebab perkembangan martsiyah bahasa Urdu sejak permulaannya pada akhir abad ke-16 hingga mencapai titik puncaknya pada karya-karya Sauda dan khususnya karya-karya Anis dan Dabir adalah terkenal. Di propinsi Sind, yang memiliki persentase penduduk Syi’ah yang cukup besar, martsiyah berbahasa Parsi dikarang orang, sejauh yang kita ketahui, sejak sekitar tahun 1700. Seorang bernama `Allamah (1682-1782) dan Muhammad Mu’in Tharo adalah diantara pengarang-pengarang martsiyah yang disebutkan namanya oleh para sejarawan. Tetapi khususnya adalah Muhammad Muhsin, yang tinggal di Thatta, ibu kota propinsi Sind hilir yang megah, yang namanya dikaitkan dengan martsiyah berbahasa Parsi di Sind. Selama masa hidupnya yang singkat (1709-1750) dia mengarang sejumlah besar tarji’band, khususnya salam, di mana citraan yang kuat dan indah bisa ditemukan :
Perahu keluarga al-Musthafa telah tenggelam di lautan darah;
Awan kekafiran yang hitam telah menutupi matahari;
Pelita Nabi telah tertiup mati oleh angin yang dibawa orang-orang Kufah.
Tetapi, jauh lebih menarik daripada tradisi Persia adalah perkembangan martsiyah dalam bahasa Sindhi dan Siraiki. Karena Christopher Shackle telah menulis sebuah artikel yang panjang dan sangat informatif tentang martsiyah yang dikarang dalam bahasa Multan, maka disini saya hanya akan berbicara tentang beberapa aspek dari martsiyah Sindhi. Seperti dalam banyak lapangan lain puisi Sindhi, Syah Abdul Lathif dari Bhit (1689-1752) adalah penyair pertama yang mengungkapkan gagasan-gagasan yang kemudian diambil oleh penyair-penyair lain. Dia mempersembahkan syair Sur Kedaro dalam karyanya yang berbahasa Hindi Risab kepada kesyahidan sang cucu Nabi, dan memandang kejadian Karbala sebagai telah terkandung dalam keseluruhan tradisi mistik Islam. Sebagaimana kebiasaannya, dia mengawali puisinya dalam media res dan membawa pendengarnya kepada saat ketika tak ada berita yang datang dari para pahlawan yang berangkat ke Kufah :
Rembulan bulan Muharram telah muncul, dan muncul pula kecemasan tentang para pangeran.
Apa yang telah terjadi ?
Bulan Muharram telah datang lagi, tapi para Imam belum datang
Wahai para pangeran dari Madinah, semoga Tuhan mengumpulkan kita
Penyair kemudian merenungkan alasan kebisuan mereka, dan menyadari bahwa suatu tragedi telah terjadi :
Para Mir telah keluar dari kota Madinah,
dan mereka belum kembali.
Tetapi kemudian dia menyadari bahwa pada dasarnya tidak ada alasan untuk bersedih atau berkabung, sebab :
Derita kesyahidan , dengarlah, adalah hari kegembiraan.
Yazid tidak mendapatkan sebutir atom pun dari cinta ini.
Kematian adalah hujan bagi anak-anak ‘Ali.
Sebab, hujan oleh Syah Abdul Lathif khususnya, dan kaum penyair Timus umumnya, dipandang sebagai tanda rahmat Tuhan, dan di negeri yang begitu bergantung pada hujan, citraan ini memperoleh maknanya yang penuh.
Derita kesyahidan adalah musin hujan yang penuh kegembiraan.
Yazid tidak memperoleh jejak-bekas cinta ini.
Keputusan untuk mati terbunuh telah ada bersama Imam sejak semula
Ini berarti sudah sejak lama zaman azali, Hasan dan Husain telah memutuskan untuk mengorbankan hidup mereka demi meraih cita-cita mereka. Ketika menjawab pertanyaan Tuhan Bukankah Aku ini Tuhanmu ? (QS, al-A’raf, 7:171), mereka menjawab “Ya” (Bala) dan memikulkan ke atas pundak mereka sendiri penderitaan (bala’) yang nantinya akan menimpa mereka. Niat mereka untuk menjadi modal bagi mereka yang ingin mendapatkan kehidupan abadi melalui penderitaan dan pengorbanan, seperti diingatkan oleh Syah Abdul Lathif kepada para pendengarnya, dinyatakan pada hari Perjanjian Azali tersebut. Kemudian, dalam bab selanjutnya, penyair Sindhi kita memasuki rincian-rincian kongkrit yang lebih banyak lagi.
Manusia-manusia sempurna, para syahid yang bagaikan singa, telah datang ke Karbala;
Setelah menebaskan pedang-pedang Mesir mereka, mereka menciptakan tumpukan mayat;
Para pahlawan menjadi bingung melihat Mir Husain menyerang.
Tetapi dengan segera dia berpaling kepada makna abadi pertempuran Karbala dan melanjutkan puisinya dalam semangat sufi yang baik :
Derita kesyahidan adalah kecentilan (naz).
Orang yang mabuk pasti memahami rahasia Karbala.
Dengan menjadikan kekasihnya menderita, sang Kekasih tampak menunjukkan kecentilannya, mencobai dan memeriksa iman dan cinta mereka, dan dengan demikian bahwa pernyataan-pernyataan yang paling kejam tantang pertempuran Karbala di mana "para pahlawan muda” --sebagaimana Syah Abdul Lathif menyebut mereka – dijaring, adalah tanda-tanda cinta Ilahi.
Bumi berguncang, gempa; langit gempar
Ini bukanlah perang; ini adalah manifestasi cinta.
Si penyair tahu bahwa penderitaan adalah hadiah khusus Tuhan bagi sahabat-sahabat-Nya. Manusia-manusia yang paling menderita adalah para nabi, disusul para wali, kemudian orang-orang lain pada derajat mereka masing-masing. Maka diapun lalu melanjutkan syairnya :
Sang sahabat membunuh para kekasih, para pecinta dibantai,
Bagi sahabat-sahabat terpilih, Dia menyediakan kesulitan-kesulitan.
Tuhan, yang Abadi; Dia melakukan apa yang diinginkan-Nya, tanpa Dia butuh kepadanya.
Syah Abdul Lathif menyedikan dua bab untuk berbicara tentang pertempuran Karbala, dan tentang bagaimana al-Hurr bergabung dengan para pejuang “bagaikan seekor anai-anai bergabung ke api lilin.” Yakni siap mengorbankan dirinya dalam pertempuran. Tapi menjelang akhir puisi, aspek mistiknya sekali lagi menjadi menonjol; mereka yang “berperang di jalan Tuhan” mencapai surga, dan para bidadari mengikatkan ikat-ikat pinggang dari untaian mawar pada mereka, sebagaimana layaknya para mempelai pria. Bahkan lebih dari itu :
Surga adalah tempat mereka; dengan berbondong-bondong mereka pergi ke surga,
Mereka telah lenyap dalam Tuhan, dengan-Nya mereka telah menjadi Dia......
Para pahlawan itu, yang tidak pernah memikirkan nasib diri mereka sendiri, tapi hanya memikirkan cinta kepada Tuhan, yang membuat mereka menghadapi semua kesulitan, akhirnya mencapai tujuan mereka, yaitu fana fi Allah, yaitu lenyap dalam Tuhan dan tinggal terus di dalam-Nya. Syah Abdul Lathif telah mengubah kehidupan para Imam, khususnya kehidupan Imam Husain, menjadi model bagi semua sufi yang berjuang, entah dalam jihad kecil (jihad-i asghar) ataupun jihad besar (jihad-i akbar), untuk mencapai kelenyapan final dalam Tuhan, suatu persatuan yang begitu sering diungkapkan oleh para Sufi dalam citraan cinta dan kebersatuan cinta. Dan secara pasti bukanlah kebetulan jika penyair Sindhi kita telah menerapkan nada Husayni, yang pada mulanya dimaksudkan untuk puisi-puisi ratapan bagi Husain, pada cerita tentang pahlawan wanita kesayangannya, Sassui, yang melenyapkan dirinya dalam pencariannya yang terus-menerus dan berani terhadap kekasihnya, dan akhirnya dia berubah menjadi kekasihnya itu.
Penafsiran Syah Abdul Lathif atas nasib Imam Husain sebagai model cinta yang menderita, dan dengan demikian sebagai model jalan mistik, merupakan sekeping kesusastraan yang sangat mengesankan. Ia belum pernah ada yang melebihi, meskipun sesudahnya sejumlah penyair dari kalangan kaum Syi’ah telah mengarang elegi-elegi tentang Karbala. Yang paling masyhur diantara mereka adalah Tsabit ‘Ali Syah (1740-1810), yang spesialisasinya adalah genre suwari, yaitu puisi yang dialamatkan kepada sang pengendara kuda, Husain, yang dulu pernah menaiki punggung Nabi dan kemudian menunggangi kudanya dengan gagah berani di medan pertempuran, Genre ini, dan juga bentuk-bentuk lain yang lebih umum, tetap lestari dalam bahasa Sindhi sepanjang abad ke-18 dan 19, dan bahkan hingga masa kita sekarang ini (Sachal Sarmest, Bedil Rohriwaro, Mir Hasan, Syah Naser, Mirza Baddhal Beg, untuk menyebut sedikit nama saja, yang sebgaian adalah sufi-sufi Sunni). Tema suwari diperinci dengan mudahnya oleg Sangi, yang adalah Abdul Husain, si pangeran dari Talpur, yang kepadanya bahada Sindhi berutang budi berupa beberapa nyanyian yang sangat indah dan menyentuh hati yang dikarang untuk menghormati sang pangeran para syuhada, dan yang sangat menekankan segi-segi mistik dari peristiwa Karbala. Di sini Husain ditempatkan dalam hubungan dengan Nabi.
Sang pangeran telah melakukan mikraj-nya di tanah Karbala,
Kuda Syah telah mencapai pangkat Buraq.
Maut telah membawa Imam Husain, yang saat itu mengendarai kudanya yang bernama Dzuljanah, menuju hadirat Ilahi sebagaimana halnya Buraq yang bersayap telah membawa Nabi ke hadirat Tuhan dalam perjalanan malam dan kenaikannya ke langit.
Sangi juga tahu, sebagaimana banyak pengarang Syi’ah sebelum dia, bahwa menangis demi Imam Husain akan mendatangkan imbalan berupa tertawa di Akhirat, dan bahwa perenungan sejati atas rahasia pengorbanan dalam cinta bisa membawa sang pencinta ke hadirat Ilahi, di mana pada akhirnya, seperti dikatakannya,
Dualitas menjadi jauh, dan diapun mencapai kesatuan.
Tema Husain sebagai model mistik bagi semua orang yang ingin menempuh jalan cinta sangat menonjol dalam puisi lembah Indus dan dalam puisi populer kaum India Muslim, yang pemikirannya diresapi oleh ajaran kaum Sufi, dan yang baginya, seperti halnya bagi para Sufi Turki dan bagi Atthar (serta sejumlah besar sufi lainnya), penderitaan Imam Husain dan Husain b.Manshur merupakan paradigma kehidupan mistik. Namun ada juga cara lain untuk memahami peran Husain dalam sejarah masyarakat-masyarakat Islam. Lebih penting lagi, cara tersebut ditunjukkan oleh Muhammad Iqbal, yang tak pelak lagi adalah seorang filsuf dan penyair Sunni. Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa dialah yang memandang sejarah Ka’bah sebagai didefinisikan oleh dua pengorbanan, yaitu pengorbanan Islam pada awalnya, dan pengorbanan Husain b. Ali pada akhirnya (Bal i Jibril, hal.92). Tetapi hampir dua dasawarsa sebelumnya Iqbal menulis baris-baris puisinya, dia telah mempersembahkan sebuah bab yang panjang kepada Husain dalam Rumuz-i bekhudi (hal.126 dst). Di sini, Husain dipuji, lagi-lagi dalam kosa-kata mistik, sebagai imam-nya para pecinta, anak laki-laki sang perawan, bunga kebebasan di taman Nabi. Sementara ayahnya, Hazrat Ali, dalam penafsiran mistik, adalah huruf ba’ dalam bismillah, maka sang anak (Husain) menjadi teridentifikasi dengan “sembelihan besar,” suatu campuran yang indah dari penafsiran mistik dan penafsiran Qur’ani. Tetapi, seperti halnya para pendahulunya, Iqbal juga hendak berisyarat kepada kenyataan bahwa Husain, sang pangeran dari umat terbaik, dulu biasa menggunakan punggung Nabi sebagai kendaraannya. Dan paling indah adalah gambaran cinta cemburu yang menjadi
Bagi Iqbal, kedudukan Husain di komunitas Muslim adalah sama sentralnya dengan kedudukan surah al-Ikhlas dalam al-Qur’an.
Selanjutnya, Iqbal kembali kepada topik kesayangannya, yaitu pertentangan yang terus-menerus antara kekuatan positif dengan kekuatan negatif, antara nabi dan wali di satu pihak dengan para penindas dan kaum kafir di pihak lain. Husain dan Yazid berdiri pad jalur yang sama seperti Musa dan Fir’aun. Selanjutnya, Iqbal menunjukkan bagaimana khilafah dipisahkan dari tuntunan-tuntunan al-Qur'’n dan berubah menjadi kerajaan yang bercorak duniawi dengan munculnya daulat Bani Umayyah, dan disinilah Husain muncul bagaikan awan tebal pembawa hujan, lagi-lagi citraan hujan yang membawa rahmat yang selalu bertentangan secara mengesankan dengan kondisi kering-kerontang dan suasana penuh kehausan dalam adegan aktual Karbala. Darah Husain-lah yang turun sebagai hujan di padang pasir Karbala dan meninggalkan bunga-bunga tulip merak di sana.
Kaitan antara bunga-bunga tulip dalam pakaian mereka yang berwarna merah dengan pakaian syuhada yang berlumuran darah telah menjadi citraan favorit puisi Persia sejak paling tidak abad ke-15, dan manakala orang berpikir tentang posisi sentral yang ditempati bunga tuip dalam pemikiran dan puisi Iqbal sebagai bunga manifestasi api Ilahi, sebagai lambang semak yang Terbakar di Gunung Sinai, dan sebagai bunga yang melambangkan pertumbuhan khudi (=diri) manusia yang mandiri dalam situasi dan kondisi yang paling sulit, --manakala kita mempertimbangkan semua aspek bunga tulip ini, maka kita akan mengerti mengapa si penyair menjadikan Imam Husain “menanam bunga-bunga tulip di padang pasir Karbala.” Barangkali kemirian antara bunyi la ilah dengan bunyi kata lala (bunga tulip), serta kenyataan bahwa kata lala memiliki nilai numerik yang sama dengan kata Allah, yaitu 66, mungkin telah meningkatkan penggunaan Iqbal atas citraan tersebut dalam kaitan dengan Imam Husain, yang darahnya “menciptakan padang rumput,” dan yang membangun bangunan “La ilaaha illa Allah.”
Tetapi sementara penyair-penyair mistik yang terdahulu biasa menekankan pesona Husain sebagai model bagi sang mistikus yang, melalui pengorbanan diri, akhirnya mencapai kesatuan dengan Tuhan, maka Iqbal –secara bisa dipahami—menekankan pokok persoalan lain: “Mengangkat pedang adalah pekerjaan mereka yang berperang demi kejayaan agama, dan melestarikan tata-tertib yang telah diciptakan Tuhan.” “Darah Husain, seperti adanya dia, telah menuliskan tafsir mengenai kata-kata ini, dan dengan demikian membangunkan suatu umat yang sedang tidur.”
Lagi-lagi, kesejajaran dengan Husain b.Manshur tampak nyata (setidaknya pada Husain b. Manshur dalam cara di mana Iqbal menafsirkan dia: dia juga mengklaim, dalam Falak-i musytari dalam Javidnama, bahwa dia telah datang untuk menghidupkan kembali manusia-manusia yang mati ruhaninya, dan karenanya dia harus menderita). Tetapi, ketika Husain b. Ali menghunus pedang, pedangnya Tuhan, dia menumpahkan darah manusia-manusia yang sibuk dengan, atau tertarik pada, hal-hal selain Allah. Secara grafis, kata la pada awal kalimah syahadat menyerupai bentuk sebilah pedang (lebih tepatnya, pedang bermata dua, seperti Dzulfiqar), dan pedang ini memberantas segala sesuatu yang disembah selain Allah. Ia ada pernyataan profetik “Tidak” terhadap apapun yang mungkin dipandang oleh manusia, selain Allah. Dengan menggunakan pedang “Tidak” dan dengan kesyahidannya, Husain menuliskan kata-kata “kecuali Allah” (illa Allah) di atas pasir, dan dengan demikian menuliskan judul rancangan cerita yang dengannya kaum Muslimin mendapatkan keselamatan.
Dari Husain-lah, kata Iqbal, kita mengetahui rahasia-rahasia al-Qur’an, dan meskipun kejayaan Syam dan Baghdad serta keindahan Granada mungkin bisa dilupakan orang, namun tali-tali senar alat-alat musik kaum Muslim masih akan tetap menyuarakan nada-nada Husain, dan imam akan tetap segar berkat seruan adzannya.
Jadi, Husain mengumpulkan dalam dirinya semua cita yang mesti dimiliki oleh seorang Muslim sejati, seperti yang digambarkan Iqbal: keberanian dan kejantanan, dan lebih dari segalanya, pengabdian kepada pengakuan akan keesaan Tuhan yang mutlak; tidak dalam pengertian menjadi satu dengan-Nya dalam fana sebagaimana yang dinyanyikan oleh para penyair sufi, melainkan sebagai pembawa kabar gembira, yang dengan kesyahidannya tidak saja merupakan seorang pahlawan syahid, tapi pada saat yang sama juga seorang saksi akan keesaan tuhan, dan dengan demikian menjadi model bagi semua generasi keum Muslim.
Seperti yang dikatakan Iqbal, memang benar bahwa tali-tali gitar kaum Muslim masih menyuarakan nama Husain, dan kita bisa menutup uraian ini dengan bait yang terakhir dari bab yang dipersembahkan kepadanya dalam Rumuz-i Bekhudi :
Duhai batu safir, duhai utusan dari mereka yang jauh,
Bawalah air mata kami ke debunya yang suci.
DALAM KESUSASTRAAN PERSIA DAN INDIA MUSLIM
(Oleh : Annemarie Schimmel)
Universitas Harvard
Al-Serat, Vol. XII (1986)
Saya masih ingat kesan mendalam yang saya rasakan ketika membaca puisi pertama bahasa Parsi yang saya baca dalam kaitan dengan kejadian-kejadian tragis di Karbala. Puisi tersebut adalah elegi karangan Qa’ani, yang diawali dengan kata-kata berikut :
Hujan apa ? Darah
Siapa ? Mata
Bagaimana ? Siang-malam
Mengapa ? Karena duka
Duka karena siapa ?
Duka karena raja Karbala.
Puisi ini, dengan gaya tanya-jawabnya yang indah, mengungkapkan banyak hal dalam kejadian-kejadian dramatis Karbala dan perasaan-perasaan yang dialami oleh seorang Muslim yang saleh manakala dia memikirkan kesyahidan cucu tercinta (Husain) di tanga tentara Bani Umayyah.
Tema penderitaan dan kesyahidan menempati peran sentral dalam sejarah agam sejak zaman yang paling dini. Sudah sejak dalam mitos-mitos kuno di Timur Dekat, kita telah mendengar tentang seorang pahlawan yang terbunuh, yang kematiannya menjamin lahirnya kembali kehidupan. Nama-nama Attis dan Osiris dalam tradisi Babilonia dan Mesir masing-masing merupakan contoh terbaik tentang tilikan tajam bangsa-bangsa kuno, bahwa tanpa kematian tidak akan ada kelanjutan kehidupan, dan bahwa darah yang tertumpahdemi tujuan yang suci adalah lebih berharga daripada apapun yang lain. Pengorbanan adalah sarana untuk mencapai tahap-tahap kehidupan yang lebih tinggi dan lebih luhur. Memberikan dengan ikhlas sebagian dari harta kekayaan yang kita miliki, atau mengorbankan anggota-anggota keluarga, akan meningkatkan derajat keagamaan seseorang. Kisah Injil dan al-Qur’an tentang Ibrahim yang demikian percaya kepada Tuhan sehingga, tanpa menanyakan apapun, bersedia mengorbankan anak lelaki satu-satunya, menunjuk kepada pentingnya pengorbanan seperti itu. Iqbal pastilah benar ketika dia menggabungkan, dalam sebuah puisi yang terkenal –Bal-I-Jibril-(1936)- pengorbanan Ismail dan kesyahidan Husain, yang keduanya merupakan awal dan akhir kisah tentang Ka’bah.
Dengan memperhitungkan pentingnya pengorbanan dan penderitaan bagi perkembangan manusia, tidaklah mengherankan jika sejarah Islam telah memberikan tempat yang sentral kepada kematian cucu Nabi tercinta Husain di medan perang, dan seringkali menggabungkan kejadian itu dengan kematian saudara laki-lakinya, Hasan, yang diakibatkan oleh racun. Dalam kesusastraan populer kita sering menemukan Hasan dan Husain ditampilkan sebagai berperan serta dalam pertempuran Karbala, yang secara historis adalah keliru, namun secara psikologis benar.
Di sini bukanlah tempatnya untuk mendiskusikan perkembangan keseluruhan genre puisi martsiyah dan ta’ziyah di dunia Persia dan Indo-Persia, atau dalam tradisi Turki populer. Tapi adalah menarik untuk melihat sekilas beberapa bait puisi dalam tradisi Islam Timur yang umumnya mengungkapkan kepedulian para penyair Sunni terhadap nasib Husain, dan mengenakan, pada saat yang sama, kecenderungan kaum Sufi untuk memandangnya sebagai model penderitaan yang begitu sentral dalam pertumbuhan jiwa.
Nama Husain muncul beberapa kali dalam karya penyair sufi besar pertama Iran, Sana’I (w. 1131). Di sini, nama Husain dapat ditemukan di sana-sini dalam kaitan dengan keberanian dan kerelaan berkorban, dan Sana’I melihat dalam dirinya suatu prototip sang syahid, yang jauh lebih tinggi dan lebih penting daripada semua syahid yang pernah dan masih ada di dunia :
Agamamu adalah Husain-mu, kerakusan dan nafsu keinginanmu
adalah babi-babi dan angjing-anjingmu
Engkau bunuh agamamu, dan kau pelihara babi-babi dan anjing-anjingmu.
(Divan, hal. 655).
Ini berarti bahwa manusia telah terjerumus ke dalam jurang kemerosotan yang sedemikian dalam sehingga dia hanya memikirkan tujuan-tujuan dan keinginan-keinginannya sendiri saja, dan melakukan segala sesuatu untuk memanjakan aspek-aspek kehidupan materialnya, sementara agamanya, yakni aspek spiritual kehidupannya, ditelantarkan tanpa makanan, menjadi layu, persis seperti halnya Husain dan para syuhada Karbala terbunuh setelah tak seorang pun mau memberi air minum kepada mereka di padang pasir. Gagasan yang kuat ini menggema dalam bait-bait yang lain, baik dalam Divan maupun Hadiqah al-Haqiqah. Tetapi kita harus berhati-hati dalam menilai pujian-pujian yang panjang kepada Husain dan penggambaran tentang Karbala sebagaimana yang ditemukan dalam Hadiqah, karena tampaknya kedua unsur ini tidak terdapat dalam manuskrip-manuskrip tertua dari karya tersebut, dan mungkin telah disisipkan pada masa yang terkemudian. Akan tetapi, hal ini tidaklah menjadi kepedulian kita di sini. Sebab nama sang pahlawan, yakni Husain, ditemukan dalam salah satu puisi sentral Sana’i dalam Divan, di mana sang penyair dalam citraan-citraan yang agung menggambarkan perkembangan manusia dan masa-masa panjang penderitaan yang dituntut bagi perkembangan segala sesuatu yang ingin meraih kesempurnaan, Di sinilah Sana’i melihat dalam “jalan agama” syahid-syahid yang dahulu mati dan kini hidup, yaitu syahid-syahid dan terbunuh oleh pedang seperti halnya Husain, dan mereka yang mati oleh racun seperti halnya Hasan (Divan, 485).
Kecenderungan untuk melihat Husain sebagai model kesyahidan dan keberanian tentu saja terus berlanjut dalam puisi yang dikarang sesudah Sana’i oleh sufi-sufi Persia dan Turki, yang paling menarik diantaranya adalah satu baris dalam Divan-nya `Attar (hampir 376 H) dimana dia menyeru sang pemula yang baru menempuh jalan agar terus melangkah menuju tujuan. Katanya :
Jadilah seorang Husain, atau seorang Manshur.
Yang dimaksud Manshur di sini adalah Husain b. Manshur al-Hallaj, pemimpin para syuhada sufi Islam, yang dibunuh dengan kejam di Baghdad pada tahun 922 M. Seperti nama julukannya, Husain b. `Ali, dia menjadi model bagi para sufi. Dia adalah pecinta yang menderita, dan dalam sejumlah yang cukup banyak dari puisi-puisi sufi, namanya muncul berdampingan dengan nama Husain. Keduanya tenggelam dalam cinta kepada Tuhan. Keduanya mengorbankan diri di Jalan Cinta Ilahi. Karena itu keduanya merupakan pecinta-pecinta Tuhan yang ideal, yang harus diteladani oleh setiap Muslim yang saleh. Ghalib dengan piawainya mengisyaratkan kepada kombinasi ini dalam tawhid qasidah-nya :
Tuhan telah menempatkan para pecinta ekstatik seperti Husain dan Manshur di kalung-kalung tali dan tiang gantungan, dan Dia menempatkan para pejuang di Jalan Allah seperti Husain dan `Ali di pinggiran-pinggiran mata pedang dan ujung-ujung tombak. Dengan menjadi syuhada, mereka mendapatkan kehidupan dan kebahagiaan yang abadi dan menjadi saksi-saksi atas kekuasaan Tuhan yang misterius
Tradisi ini khususnya terasa kuat dalam dunia Turki, dimana nama Husain maupun nama Manshur sering muncul dalam nyanyian-nyanyian sufi.
Tradisi Turki, terutama pada tarekat Bektasiyyah yang belakangan, sangat berhutang budi kepada Islam Syi’ah. Tapi tampaknya sudah sejak dalam beberapa nyanyian sufi populer yang paling awal di Turki, yakni yang dikarang oleh Yunus Emre pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, cucu-cucu Nabi memainkan peran khusus. Dalam sebuah nyanyian indah karangan Yunus, mereka digambarkan sebagai “air mancurnya para syuhada”, “air mata para wali” serta “anak-anak domba Ibu Fatimah.” Kedua cucu Nabi itu, sebagai “raja delapan surga,” dipandang sebagai penolong-penolong yang berdiri di pinggir telaga al-Kawtsar dan membagi-bagikan air kepada orang-orang yang kehausan, suatu kebalikan dari Husain yang menderita kehausan di padang pasir Karbala yang kering-kerontang.” (Yunus Emre Divani, hal. 569).
Dongeng terkenal yang menurutnya Nabi SAAW melihat Jibril membawa dua helai pakaian, yang satu berwarna merah dan yang lain hijau, untuk kedua orang cucunya, dan beliau diberitahu bahwa warna kedua pakaian itu menunjuk kepada dua cara kematian mereka, yaitu masing-masing oleh pedang dan racun, disebutkan dalam nyanyian-nyanyian Turki masa awal, sebagaimana dongeng itu juga menjadi bagian pokok dari manaqibah Sindhi populer yang hingga kini masih dinyanyikan di lembah Indus. Hal yang sama-sama terdapat dalam kedua tradisi tersebut adalah cerita-cerita tentang bagaimana kedua anak itu menaiki punggung kakek mereka, Nabi SAAW, dan bagaimana beliau membelai-belai mereka. Jadi, dalam nyanyian-nyanyian awal Turki, Hasan san Husain muncul dalam berbagai citraan yang umumnya terkenal. Namun untuk menekankan peran khusus mereka, Yunus Emre menyebut keduanya “kedua cuping `Arasy Tuhan.” (Divan, hal. 569).
Citraan tersebut bahkan menjadi lebih berwarna-warni dalam abad-abad selanjutnya ketika watak Syi’ah dari tarekat Bektasyiyah semakin meningkat dan dirasakan dalam ungkapan ritual maupun puitis. Husain b. `Ali adalah “rahasia Tuhan,” “cahaya mata al-Musthafa” (demikian dikatakan oleh Seher Abdal, abad ke-16), dan penyair sezamannya, Hayreti, dalam sebuah martsiyah yang indah, menyebutnya “qurban perayaan jihad akbar.” Bukanlah lehernya, yang dulu sering diciumi Nabi, telah dipenggal oleh pedang?
Hari ini penghuni langit dan bumi meneteskan air mata.
Dan mereka menjadi kacau-balau seperti rambutmu, wahai Husain.
Fajar mengucurkan darahnya karena berduka bagi Husain, dan bunga-bunga tulip merah menampakkan warna darah dan memperlihatkan tanda-tanda kesedihan hati mereka.... (Ergun, Bektasi sairleri, hal. 95).
Tradisi Turki dan tradisi dalam bahasa-bahasa regional di anak benua India adalah sangat mirip. Marilah kita menengok perkembangan martsiyah, bukan dalam bahasa-bahasa sastra yang utama, melainkan di bagian-bagian yang lebih terpencil dari anak benua tersebut. Sebab perkembangan martsiyah bahasa Urdu sejak permulaannya pada akhir abad ke-16 hingga mencapai titik puncaknya pada karya-karya Sauda dan khususnya karya-karya Anis dan Dabir adalah terkenal. Di propinsi Sind, yang memiliki persentase penduduk Syi’ah yang cukup besar, martsiyah berbahasa Parsi dikarang orang, sejauh yang kita ketahui, sejak sekitar tahun 1700. Seorang bernama `Allamah (1682-1782) dan Muhammad Mu’in Tharo adalah diantara pengarang-pengarang martsiyah yang disebutkan namanya oleh para sejarawan. Tetapi khususnya adalah Muhammad Muhsin, yang tinggal di Thatta, ibu kota propinsi Sind hilir yang megah, yang namanya dikaitkan dengan martsiyah berbahasa Parsi di Sind. Selama masa hidupnya yang singkat (1709-1750) dia mengarang sejumlah besar tarji’band, khususnya salam, di mana citraan yang kuat dan indah bisa ditemukan :
Perahu keluarga al-Musthafa telah tenggelam di lautan darah;
Awan kekafiran yang hitam telah menutupi matahari;
Pelita Nabi telah tertiup mati oleh angin yang dibawa orang-orang Kufah.
Tetapi, jauh lebih menarik daripada tradisi Persia adalah perkembangan martsiyah dalam bahasa Sindhi dan Siraiki. Karena Christopher Shackle telah menulis sebuah artikel yang panjang dan sangat informatif tentang martsiyah yang dikarang dalam bahasa Multan, maka disini saya hanya akan berbicara tentang beberapa aspek dari martsiyah Sindhi. Seperti dalam banyak lapangan lain puisi Sindhi, Syah Abdul Lathif dari Bhit (1689-1752) adalah penyair pertama yang mengungkapkan gagasan-gagasan yang kemudian diambil oleh penyair-penyair lain. Dia mempersembahkan syair Sur Kedaro dalam karyanya yang berbahasa Hindi Risab kepada kesyahidan sang cucu Nabi, dan memandang kejadian Karbala sebagai telah terkandung dalam keseluruhan tradisi mistik Islam. Sebagaimana kebiasaannya, dia mengawali puisinya dalam media res dan membawa pendengarnya kepada saat ketika tak ada berita yang datang dari para pahlawan yang berangkat ke Kufah :
Rembulan bulan Muharram telah muncul, dan muncul pula kecemasan tentang para pangeran.
Apa yang telah terjadi ?
Bulan Muharram telah datang lagi, tapi para Imam belum datang
Wahai para pangeran dari Madinah, semoga Tuhan mengumpulkan kita
Penyair kemudian merenungkan alasan kebisuan mereka, dan menyadari bahwa suatu tragedi telah terjadi :
Para Mir telah keluar dari kota Madinah,
dan mereka belum kembali.
Tetapi kemudian dia menyadari bahwa pada dasarnya tidak ada alasan untuk bersedih atau berkabung, sebab :
Derita kesyahidan , dengarlah, adalah hari kegembiraan.
Yazid tidak mendapatkan sebutir atom pun dari cinta ini.
Kematian adalah hujan bagi anak-anak ‘Ali.
Sebab, hujan oleh Syah Abdul Lathif khususnya, dan kaum penyair Timus umumnya, dipandang sebagai tanda rahmat Tuhan, dan di negeri yang begitu bergantung pada hujan, citraan ini memperoleh maknanya yang penuh.
Derita kesyahidan adalah musin hujan yang penuh kegembiraan.
Yazid tidak memperoleh jejak-bekas cinta ini.
Keputusan untuk mati terbunuh telah ada bersama Imam sejak semula
Ini berarti sudah sejak lama zaman azali, Hasan dan Husain telah memutuskan untuk mengorbankan hidup mereka demi meraih cita-cita mereka. Ketika menjawab pertanyaan Tuhan Bukankah Aku ini Tuhanmu ? (QS, al-A’raf, 7:171), mereka menjawab “Ya” (Bala) dan memikulkan ke atas pundak mereka sendiri penderitaan (bala’) yang nantinya akan menimpa mereka. Niat mereka untuk menjadi modal bagi mereka yang ingin mendapatkan kehidupan abadi melalui penderitaan dan pengorbanan, seperti diingatkan oleh Syah Abdul Lathif kepada para pendengarnya, dinyatakan pada hari Perjanjian Azali tersebut. Kemudian, dalam bab selanjutnya, penyair Sindhi kita memasuki rincian-rincian kongkrit yang lebih banyak lagi.
Manusia-manusia sempurna, para syahid yang bagaikan singa, telah datang ke Karbala;
Setelah menebaskan pedang-pedang Mesir mereka, mereka menciptakan tumpukan mayat;
Para pahlawan menjadi bingung melihat Mir Husain menyerang.
Tetapi dengan segera dia berpaling kepada makna abadi pertempuran Karbala dan melanjutkan puisinya dalam semangat sufi yang baik :
Derita kesyahidan adalah kecentilan (naz).
Orang yang mabuk pasti memahami rahasia Karbala.
Dengan menjadikan kekasihnya menderita, sang Kekasih tampak menunjukkan kecentilannya, mencobai dan memeriksa iman dan cinta mereka, dan dengan demikian bahwa pernyataan-pernyataan yang paling kejam tantang pertempuran Karbala di mana "para pahlawan muda” --sebagaimana Syah Abdul Lathif menyebut mereka – dijaring, adalah tanda-tanda cinta Ilahi.
Bumi berguncang, gempa; langit gempar
Ini bukanlah perang; ini adalah manifestasi cinta.
Si penyair tahu bahwa penderitaan adalah hadiah khusus Tuhan bagi sahabat-sahabat-Nya. Manusia-manusia yang paling menderita adalah para nabi, disusul para wali, kemudian orang-orang lain pada derajat mereka masing-masing. Maka diapun lalu melanjutkan syairnya :
Sang sahabat membunuh para kekasih, para pecinta dibantai,
Bagi sahabat-sahabat terpilih, Dia menyediakan kesulitan-kesulitan.
Tuhan, yang Abadi; Dia melakukan apa yang diinginkan-Nya, tanpa Dia butuh kepadanya.
Syah Abdul Lathif menyedikan dua bab untuk berbicara tentang pertempuran Karbala, dan tentang bagaimana al-Hurr bergabung dengan para pejuang “bagaikan seekor anai-anai bergabung ke api lilin.” Yakni siap mengorbankan dirinya dalam pertempuran. Tapi menjelang akhir puisi, aspek mistiknya sekali lagi menjadi menonjol; mereka yang “berperang di jalan Tuhan” mencapai surga, dan para bidadari mengikatkan ikat-ikat pinggang dari untaian mawar pada mereka, sebagaimana layaknya para mempelai pria. Bahkan lebih dari itu :
Surga adalah tempat mereka; dengan berbondong-bondong mereka pergi ke surga,
Mereka telah lenyap dalam Tuhan, dengan-Nya mereka telah menjadi Dia......
Para pahlawan itu, yang tidak pernah memikirkan nasib diri mereka sendiri, tapi hanya memikirkan cinta kepada Tuhan, yang membuat mereka menghadapi semua kesulitan, akhirnya mencapai tujuan mereka, yaitu fana fi Allah, yaitu lenyap dalam Tuhan dan tinggal terus di dalam-Nya. Syah Abdul Lathif telah mengubah kehidupan para Imam, khususnya kehidupan Imam Husain, menjadi model bagi semua sufi yang berjuang, entah dalam jihad kecil (jihad-i asghar) ataupun jihad besar (jihad-i akbar), untuk mencapai kelenyapan final dalam Tuhan, suatu persatuan yang begitu sering diungkapkan oleh para Sufi dalam citraan cinta dan kebersatuan cinta. Dan secara pasti bukanlah kebetulan jika penyair Sindhi kita telah menerapkan nada Husayni, yang pada mulanya dimaksudkan untuk puisi-puisi ratapan bagi Husain, pada cerita tentang pahlawan wanita kesayangannya, Sassui, yang melenyapkan dirinya dalam pencariannya yang terus-menerus dan berani terhadap kekasihnya, dan akhirnya dia berubah menjadi kekasihnya itu.
Penafsiran Syah Abdul Lathif atas nasib Imam Husain sebagai model cinta yang menderita, dan dengan demikian sebagai model jalan mistik, merupakan sekeping kesusastraan yang sangat mengesankan. Ia belum pernah ada yang melebihi, meskipun sesudahnya sejumlah penyair dari kalangan kaum Syi’ah telah mengarang elegi-elegi tentang Karbala. Yang paling masyhur diantara mereka adalah Tsabit ‘Ali Syah (1740-1810), yang spesialisasinya adalah genre suwari, yaitu puisi yang dialamatkan kepada sang pengendara kuda, Husain, yang dulu pernah menaiki punggung Nabi dan kemudian menunggangi kudanya dengan gagah berani di medan pertempuran, Genre ini, dan juga bentuk-bentuk lain yang lebih umum, tetap lestari dalam bahasa Sindhi sepanjang abad ke-18 dan 19, dan bahkan hingga masa kita sekarang ini (Sachal Sarmest, Bedil Rohriwaro, Mir Hasan, Syah Naser, Mirza Baddhal Beg, untuk menyebut sedikit nama saja, yang sebgaian adalah sufi-sufi Sunni). Tema suwari diperinci dengan mudahnya oleg Sangi, yang adalah Abdul Husain, si pangeran dari Talpur, yang kepadanya bahada Sindhi berutang budi berupa beberapa nyanyian yang sangat indah dan menyentuh hati yang dikarang untuk menghormati sang pangeran para syuhada, dan yang sangat menekankan segi-segi mistik dari peristiwa Karbala. Di sini Husain ditempatkan dalam hubungan dengan Nabi.
Sang pangeran telah melakukan mikraj-nya di tanah Karbala,
Kuda Syah telah mencapai pangkat Buraq.
Maut telah membawa Imam Husain, yang saat itu mengendarai kudanya yang bernama Dzuljanah, menuju hadirat Ilahi sebagaimana halnya Buraq yang bersayap telah membawa Nabi ke hadirat Tuhan dalam perjalanan malam dan kenaikannya ke langit.
Sangi juga tahu, sebagaimana banyak pengarang Syi’ah sebelum dia, bahwa menangis demi Imam Husain akan mendatangkan imbalan berupa tertawa di Akhirat, dan bahwa perenungan sejati atas rahasia pengorbanan dalam cinta bisa membawa sang pencinta ke hadirat Ilahi, di mana pada akhirnya, seperti dikatakannya,
Dualitas menjadi jauh, dan diapun mencapai kesatuan.
Tema Husain sebagai model mistik bagi semua orang yang ingin menempuh jalan cinta sangat menonjol dalam puisi lembah Indus dan dalam puisi populer kaum India Muslim, yang pemikirannya diresapi oleh ajaran kaum Sufi, dan yang baginya, seperti halnya bagi para Sufi Turki dan bagi Atthar (serta sejumlah besar sufi lainnya), penderitaan Imam Husain dan Husain b.Manshur merupakan paradigma kehidupan mistik. Namun ada juga cara lain untuk memahami peran Husain dalam sejarah masyarakat-masyarakat Islam. Lebih penting lagi, cara tersebut ditunjukkan oleh Muhammad Iqbal, yang tak pelak lagi adalah seorang filsuf dan penyair Sunni. Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa dialah yang memandang sejarah Ka’bah sebagai didefinisikan oleh dua pengorbanan, yaitu pengorbanan Islam pada awalnya, dan pengorbanan Husain b. Ali pada akhirnya (Bal i Jibril, hal.92). Tetapi hampir dua dasawarsa sebelumnya Iqbal menulis baris-baris puisinya, dia telah mempersembahkan sebuah bab yang panjang kepada Husain dalam Rumuz-i bekhudi (hal.126 dst). Di sini, Husain dipuji, lagi-lagi dalam kosa-kata mistik, sebagai imam-nya para pecinta, anak laki-laki sang perawan, bunga kebebasan di taman Nabi. Sementara ayahnya, Hazrat Ali, dalam penafsiran mistik, adalah huruf ba’ dalam bismillah, maka sang anak (Husain) menjadi teridentifikasi dengan “sembelihan besar,” suatu campuran yang indah dari penafsiran mistik dan penafsiran Qur’ani. Tetapi, seperti halnya para pendahulunya, Iqbal juga hendak berisyarat kepada kenyataan bahwa Husain, sang pangeran dari umat terbaik, dulu biasa menggunakan punggung Nabi sebagai kendaraannya. Dan paling indah adalah gambaran cinta cemburu yang menjadi
Bagi Iqbal, kedudukan Husain di komunitas Muslim adalah sama sentralnya dengan kedudukan surah al-Ikhlas dalam al-Qur’an.
Selanjutnya, Iqbal kembali kepada topik kesayangannya, yaitu pertentangan yang terus-menerus antara kekuatan positif dengan kekuatan negatif, antara nabi dan wali di satu pihak dengan para penindas dan kaum kafir di pihak lain. Husain dan Yazid berdiri pad jalur yang sama seperti Musa dan Fir’aun. Selanjutnya, Iqbal menunjukkan bagaimana khilafah dipisahkan dari tuntunan-tuntunan al-Qur'’n dan berubah menjadi kerajaan yang bercorak duniawi dengan munculnya daulat Bani Umayyah, dan disinilah Husain muncul bagaikan awan tebal pembawa hujan, lagi-lagi citraan hujan yang membawa rahmat yang selalu bertentangan secara mengesankan dengan kondisi kering-kerontang dan suasana penuh kehausan dalam adegan aktual Karbala. Darah Husain-lah yang turun sebagai hujan di padang pasir Karbala dan meninggalkan bunga-bunga tulip merak di sana.
Kaitan antara bunga-bunga tulip dalam pakaian mereka yang berwarna merah dengan pakaian syuhada yang berlumuran darah telah menjadi citraan favorit puisi Persia sejak paling tidak abad ke-15, dan manakala orang berpikir tentang posisi sentral yang ditempati bunga tuip dalam pemikiran dan puisi Iqbal sebagai bunga manifestasi api Ilahi, sebagai lambang semak yang Terbakar di Gunung Sinai, dan sebagai bunga yang melambangkan pertumbuhan khudi (=diri) manusia yang mandiri dalam situasi dan kondisi yang paling sulit, --manakala kita mempertimbangkan semua aspek bunga tulip ini, maka kita akan mengerti mengapa si penyair menjadikan Imam Husain “menanam bunga-bunga tulip di padang pasir Karbala.” Barangkali kemirian antara bunyi la ilah dengan bunyi kata lala (bunga tulip), serta kenyataan bahwa kata lala memiliki nilai numerik yang sama dengan kata Allah, yaitu 66, mungkin telah meningkatkan penggunaan Iqbal atas citraan tersebut dalam kaitan dengan Imam Husain, yang darahnya “menciptakan padang rumput,” dan yang membangun bangunan “La ilaaha illa Allah.”
Tetapi sementara penyair-penyair mistik yang terdahulu biasa menekankan pesona Husain sebagai model bagi sang mistikus yang, melalui pengorbanan diri, akhirnya mencapai kesatuan dengan Tuhan, maka Iqbal –secara bisa dipahami—menekankan pokok persoalan lain: “Mengangkat pedang adalah pekerjaan mereka yang berperang demi kejayaan agama, dan melestarikan tata-tertib yang telah diciptakan Tuhan.” “Darah Husain, seperti adanya dia, telah menuliskan tafsir mengenai kata-kata ini, dan dengan demikian membangunkan suatu umat yang sedang tidur.”
Lagi-lagi, kesejajaran dengan Husain b.Manshur tampak nyata (setidaknya pada Husain b. Manshur dalam cara di mana Iqbal menafsirkan dia: dia juga mengklaim, dalam Falak-i musytari dalam Javidnama, bahwa dia telah datang untuk menghidupkan kembali manusia-manusia yang mati ruhaninya, dan karenanya dia harus menderita). Tetapi, ketika Husain b. Ali menghunus pedang, pedangnya Tuhan, dia menumpahkan darah manusia-manusia yang sibuk dengan, atau tertarik pada, hal-hal selain Allah. Secara grafis, kata la pada awal kalimah syahadat menyerupai bentuk sebilah pedang (lebih tepatnya, pedang bermata dua, seperti Dzulfiqar), dan pedang ini memberantas segala sesuatu yang disembah selain Allah. Ia ada pernyataan profetik “Tidak” terhadap apapun yang mungkin dipandang oleh manusia, selain Allah. Dengan menggunakan pedang “Tidak” dan dengan kesyahidannya, Husain menuliskan kata-kata “kecuali Allah” (illa Allah) di atas pasir, dan dengan demikian menuliskan judul rancangan cerita yang dengannya kaum Muslimin mendapatkan keselamatan.
Dari Husain-lah, kata Iqbal, kita mengetahui rahasia-rahasia al-Qur’an, dan meskipun kejayaan Syam dan Baghdad serta keindahan Granada mungkin bisa dilupakan orang, namun tali-tali senar alat-alat musik kaum Muslim masih akan tetap menyuarakan nada-nada Husain, dan imam akan tetap segar berkat seruan adzannya.
Jadi, Husain mengumpulkan dalam dirinya semua cita yang mesti dimiliki oleh seorang Muslim sejati, seperti yang digambarkan Iqbal: keberanian dan kejantanan, dan lebih dari segalanya, pengabdian kepada pengakuan akan keesaan Tuhan yang mutlak; tidak dalam pengertian menjadi satu dengan-Nya dalam fana sebagaimana yang dinyanyikan oleh para penyair sufi, melainkan sebagai pembawa kabar gembira, yang dengan kesyahidannya tidak saja merupakan seorang pahlawan syahid, tapi pada saat yang sama juga seorang saksi akan keesaan tuhan, dan dengan demikian menjadi model bagi semua generasi keum Muslim.
Seperti yang dikatakan Iqbal, memang benar bahwa tali-tali gitar kaum Muslim masih menyuarakan nama Husain, dan kita bisa menutup uraian ini dengan bait yang terakhir dari bab yang dipersembahkan kepadanya dalam Rumuz-i Bekhudi :
Duhai batu safir, duhai utusan dari mereka yang jauh,
Bawalah air mata kami ke debunya yang suci.
Thursday, January 01, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)
About Me
- Zaynab al Kubra
- Graduan arkiteksur S1 UI. S2 Universitas Sains Malaysia. Pernah ikut suami ke Penang, Malaysia. Kini 'bekerja dengan famili.' Asal Utan Kayu, Jakarta, Indonesia