Wednesday, January 30, 2008
Thursday, January 24, 2008
Thursday, January 17, 2008
Gimana Menyambut Asyura
Berikut wawancara Islam Alternatif (Islat) dengan Ustadz Abdullah Beik MA seputar Asyura (10 Muharram).
Islat: Apa yang mendasari pengikut mazhab AhlulBait memperingati hari syahadah Imam Husain (as) atau yang disebut dengan "Asyura"?
A Beik: Banyak faktor yang mendasari hal itu, di antaranya sebagai berikut:
a. Adanya teks-teks hadis secara umum tentang keharusan kita mencintai Imam Husain (as) sebagai salah seorang dari pribadi-pribadi keluarga Nabi yang disucikan. Dan salah satu bentuk mengekspresikan kecintaan itu dengan memperingati hari lahir dan wafat beliau.
b. Adanya contoh dari para Imam suci AhlulBait (as) atas hal itu, bahkan diriwayatkan berbagai hadis yang menyebutkan tentang keutamaan memperingati hari Asyura dengan berbagai ritual khusus, seperti membaca Doa Ziarah Asyura, saling mengucapkan ucapan bela sungkawa sesama mukmin dan bahkan adanya riwayat yang melarang kita untuk melakukan aktivitas ekonomi (mata pencarian) di hari itu, karena hari itu adalah hari yang tidak akan membawa berkah.
c. Momentum yang tepat untuk menghidupkan sebuah fakta dalam sejarah yang pernah ditulis dengan tinta merah yang dengan terus memperingatinya, kita akan tetap mengingat dan tidak melupakannya. Selanjutnya akan kita jadikan sebagai sebuah penguman acara besar di depan mata kepala dan hati kita, agar dapat kita petik berbagai hikmah dan pelajaran yang sangat berguna sebagai bekal kita mengarungi dan menjalani kehidupan keseharian kita.
d. Kita memiliki tugas untuk melestarikan (membudayakan) ajaran agama dan memberikannya sebagai tongkat yang harus tetap dipegang oleh generasi berikutnya. Tanpa peringatan-peringatan seperti itu, maka nama, sejarah dan tribulasi perjuangan Imam Husain (as) akan hilang dan tidak akan dikenal oleh anak dan cucu kita.
Coba bayangkan jika maulid Nabi kita Muhammad (saw) tidak pernah diperingati, maka pasti kita tidak akan tahu kapan Nabi dilahirkan, bagaimana tribulasi perjuangan beliau dan apa pesan dan ajaran sucinya. Anak-anak kita tidak akan tahu hal itu, walapun ditulis dalam buku-buku sejarah. Sama halnya dengan hari kelahiran para tokoh dan pahlawan; sebut saja Imam Bonjol, Diponegoro dan lain-lain, walaupun ditulis di dalam buku-buku sejarah dan dipelajari di sekolah-sekolah, namun karena tidak diperingati, maka tidak melekat di pikiran kita kapan beliau-beliau lahir, apalagi ajaran dan pesan-pesan berharganya.
Islat: Bagaimana dengan peringatan yang diisi dengan tangisan, memukul kepala dan dada dengan tangan bahkan memukul kepala dengan pisau dan pedang?
A Beik: Seperti yang disebutkan di atas, banyak tindakan dan ucapan yang dapat dilakukan dalam rangka mengekspresikan kesedihan kita, selama tidak ada larangan atas hal itu, maka boleh-boleh saja. Oleh karena itu sesuai fatwa para ulama, khususnya Imam Sayyed Ali Khamenei al-Khurasani (semoga Allah memanjangkan umur beliau), boleh-boleh saja memukul dada dan kepala dengan tangan. Adapun memukul kepala dengan pedang dan segala hal yang melukai atau mencelakakan fisik, maka hal itu tidak diperbolehkan dan haram hukumnya.
Islat: Bagaimana halnya dengan hadis-hadis Nabi yang melarang praktik itu?
A Beik: Pertama: Yang dilarang oleh Nabi –sejauh yang saya tahu- adalah menempeleng wajah sendiri, merobek baju dan mencabut rambut. Imam Khomeini (rah.) di dalam kitab Tahrirul Wasilah, kumpulan fatwa beliau, menyebutkan akan larangan hal tersebut. Adapun memukul dada dan kepala dengan tangan, maka tidak ada larangan. Oleh karena itu boleh-boleh saja.
Kedua: Nabi melarang hal itu dalam konteks orang yang ditinggal mati oleh ayah, ibu atau keluarganya yang lain dan melakukan hal itu sebagai ekspresi ketidakrelaan mereka akan takdir dan ketetapan Allah Swt. Namun yang dilakukan oleh pengikut AhlulBait bukan atas dasar itu, namun atas dasar kecintaan dan mengekspresikannya.
Islat: Sebagian orang menganggap memukul-mukul dada dan kepala itu adalah budaya orang Iran atau Persia di saat ditimpa musibah, mengapa itu menjadi sebuah anjuran dan "sunnah" secara umum?
A Beik: Pertama, sulit untuk dibuktikan, bahwa hal itu adalah budaya orang Iran saja ketika ditimpa musibah. Sebab banyak orang Arab, Pakistan dan India yang melakukan hal itu. Coba lihat orang-orang Palestin ketika mendapati anaknya dibunuh oleh tentara zionis Israel mereka memukul dada dan kepalanya.
Kebanyakan orang Indonesia pun ketika lupa sesuatu memukul dahi, sebagai tanda kesedihan, mengapa hal itu dilupakan?
Kedua, kalaupun hal itu benar dan memang budaya Iran saja, tidak bermasalah, sebab yang penting adalah apa yang mendasari kita melakukan hal itu, yaitu ekspresi kecintaan dan kesedihan, jika ada ekspresi dalam bentuk lain, maka boleh-boleh saja dan tetap akan mendapatkan pahala karena niat yang mendasarinya.
Islat: Apa hukum puasa di hari Asyura?
A Beik: Puasa biasanya disunnahkan pada hari-hari bahagia sebagai tanda syukur kepada Allah Swt atas kenikmatan yang kita terima atau terhindar dari sebuah musibah dan bahaya. Oleh karena itu pada hari-hari kelahiran Nabi atau Imam dianjurkan berpuasa sebagai rasa syukur kita akan kelahiran mereka sebagai pemandu dan pemberi petunjuk untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Begitu juga dengan hari pengangkatan Nabi, hari pengangkatan Imam dan seterusnya. Kecuali hari raya Idul Fitri dan Idul Adha memiliki hukum khusus, walaupun itu adalah hari bahagia, namun kita diharamkan melaksanakan puasa.
Berkenaan dengan hari Asyura bukanlah hari bahagia namun hari kesedihan. Oleh karenanya kita dilarang berpuasa, yang ada hanyalah dianjurkan untuk imsak (baca; tidak makan dan tidak minum) sampai waktu Zuhur dalam rangka lebih meresapi dan merasakan kehausan yang dialami oleh Imam Husain, keluarga dan sahabatnya saat itu.
Islat: Bukankah ada hadis-hadis yang sering disampaikan oleh para ustadz dan ulama, bahwa hari itu disunnahkan berpuasa?
A Beik: Memang benar sering kita dengar hal itu, bahkan disebutkan pula alasan-alasan dianjurkannya berpuasa yang menguatkan apa yang disebutkan pada jawaban di atas yaitu beberapa hal yang terjadi pada tanggal 10 Muharram sebagai hari kemenangan, kebahagiaan para nabi sepanjang sejarah dan bahkan konon, bumi diciptakan pada tanggal 10 Muharram. Namun banyak ulama AhlulBait khususnya yang menyatakan, bahwa hadis-hadis tersebut tidak benar, para perawinya tidak terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat. Khususnya alasan terakhir yang saya sebutkan, bahwa bumi diciptakan pada tanggal 10 Muharram, ini betul-betul sangat aneh, bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi di sekeliling matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum diciptakan bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama.
Yang kedua andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun pasca kesyahidan Imam Husain (as) tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka yang menimpa keluarga Rasulullah (saw) tidak ada bandingannya, sehingga kesedihan yang seharusnya dirasakan oleh seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai Rasulullah (saw) dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan menyenangkan di atas.
Islat: Pada hari peringatan Asyura sering dilantunkan syair-syair yang terkesan sangat berlebihan dan mengkultuskan individu di luar batas kewajaran manusia biasa. Misalnya ada syair yang menyatakan bahwa pada hari kesyahidan Imam Husain (as) segala sesuatu di atas muka bumi bersedih dan menangis, bahkan langit pun turut berduka dan menangis. Bolehkah hal tersebut? Sebagian dari penceramah bahkan menisbatkan hal itu kepada para Imam suci AhlulBait (as). Benarkah hal tersebut?
A Beik: Kebenaran para Imam (as) dalam hadis-hadis mereka menyampaikan hal itu membutukan penelitian hadis secara komprehensif, baik sanad atau pun matannya. Namun dari segi isi (matan) tidaklah berlebihan, sebab al-Qur'an sendiri menyebutkan hal itu. Di dalam surah Ad-Dukhan ayat 29 Allah Swt menceritakan tentang Firaun dan kaumnya yang ditimpakan mala petaka dan azab Allah Swt dengan ditenggelamkan ke dalam laut, kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: "Sungguh langit tidaklah menangis atas kematian mereka dan mereka bukanlah orang-orang yang diperhatikan". Dari ayat tersebut dapat disimpulkan, bahwa kebalikan dari kondisi mereka, yaitu jika yang meninggal dunia itu adalah Nabi Musa (as) dan pengikutnya, orang-orang mukmin yang mengikuti nabinya dengan benar, maka di saat meninggal dunia langit akan menangis dan para penduduk langit akan memperhatikan dan menyambut kedatangan ruhnya.
Imam Husain dengan keluarga dan sahabatnya tidak diragukan adalah pribadi-pribadi yang memenuhi kriteria itu. Kita pun harus berusaha agar hidup dengan iman dan amal yang baik, dalam ketaatan pada Allah dan Rasulullah (saw) sehingga di saat kita menemui ajal tidak hanya anak istri kita yang menangis, namun langit pun juga akan menangisi kepergian kita.
Islat: Apakah maksud dari ayat itu haqiqi atau majaz, atau perlu kepada takwil, yakni penduduk langit, sebagaimana firman Allah Swt; "Was alul qaryah" tanyakan pada desa, maksudnya tanyakan pada penduduk desa tersebut?
A Beik: Ada perbedaan pendapat ulama tafsir dalam hal ini, sesuai dengan metode dan mazhab penafsiran yang diyakininya, sebagian ulama seperti, Mulla Shadra yang meyakini segala sesuatu memiliki tiga alam (baca; perwujudan); materi, barzakhiy (mitsal/ pertengahan) dan mujarrad (non materi murni), maka beliau meyakininya haqiqi, jadi walaupun kita secara umum hanya mampu melihat langit sebagai materi, tak bernyawa dan mati, namun dia memiliki perwujudan lain yang hanya dilihat oleh orang khusus, dia hidup dan berlaku hukum-hukum makhluk hidup baginya.
Bagi yang tidak meyakini hal itu, maka mereka meyakininya sebagai majaz atau perlu untuk ditakwil seperti di atas. Namun hasilnya sama, bahwa boleh dan dibenarkan untuk melantunkan syair-syair seperti itu.[]
Islat: Islam Alternatif
A Beik: Ustadz Abdullah Beik MA [Ketua Departemen Pendidikan Islamic Center -Al-Huda- Jakarta]
Islat: Apa yang mendasari pengikut mazhab AhlulBait memperingati hari syahadah Imam Husain (as) atau yang disebut dengan "Asyura"?
A Beik: Banyak faktor yang mendasari hal itu, di antaranya sebagai berikut:
a. Adanya teks-teks hadis secara umum tentang keharusan kita mencintai Imam Husain (as) sebagai salah seorang dari pribadi-pribadi keluarga Nabi yang disucikan. Dan salah satu bentuk mengekspresikan kecintaan itu dengan memperingati hari lahir dan wafat beliau.
b. Adanya contoh dari para Imam suci AhlulBait (as) atas hal itu, bahkan diriwayatkan berbagai hadis yang menyebutkan tentang keutamaan memperingati hari Asyura dengan berbagai ritual khusus, seperti membaca Doa Ziarah Asyura, saling mengucapkan ucapan bela sungkawa sesama mukmin dan bahkan adanya riwayat yang melarang kita untuk melakukan aktivitas ekonomi (mata pencarian) di hari itu, karena hari itu adalah hari yang tidak akan membawa berkah.
c. Momentum yang tepat untuk menghidupkan sebuah fakta dalam sejarah yang pernah ditulis dengan tinta merah yang dengan terus memperingatinya, kita akan tetap mengingat dan tidak melupakannya. Selanjutnya akan kita jadikan sebagai sebuah penguman acara besar di depan mata kepala dan hati kita, agar dapat kita petik berbagai hikmah dan pelajaran yang sangat berguna sebagai bekal kita mengarungi dan menjalani kehidupan keseharian kita.
d. Kita memiliki tugas untuk melestarikan (membudayakan) ajaran agama dan memberikannya sebagai tongkat yang harus tetap dipegang oleh generasi berikutnya. Tanpa peringatan-peringatan seperti itu, maka nama, sejarah dan tribulasi perjuangan Imam Husain (as) akan hilang dan tidak akan dikenal oleh anak dan cucu kita.
Coba bayangkan jika maulid Nabi kita Muhammad (saw) tidak pernah diperingati, maka pasti kita tidak akan tahu kapan Nabi dilahirkan, bagaimana tribulasi perjuangan beliau dan apa pesan dan ajaran sucinya. Anak-anak kita tidak akan tahu hal itu, walapun ditulis dalam buku-buku sejarah. Sama halnya dengan hari kelahiran para tokoh dan pahlawan; sebut saja Imam Bonjol, Diponegoro dan lain-lain, walaupun ditulis di dalam buku-buku sejarah dan dipelajari di sekolah-sekolah, namun karena tidak diperingati, maka tidak melekat di pikiran kita kapan beliau-beliau lahir, apalagi ajaran dan pesan-pesan berharganya.
Islat: Bagaimana dengan peringatan yang diisi dengan tangisan, memukul kepala dan dada dengan tangan bahkan memukul kepala dengan pisau dan pedang?
A Beik: Seperti yang disebutkan di atas, banyak tindakan dan ucapan yang dapat dilakukan dalam rangka mengekspresikan kesedihan kita, selama tidak ada larangan atas hal itu, maka boleh-boleh saja. Oleh karena itu sesuai fatwa para ulama, khususnya Imam Sayyed Ali Khamenei al-Khurasani (semoga Allah memanjangkan umur beliau), boleh-boleh saja memukul dada dan kepala dengan tangan. Adapun memukul kepala dengan pedang dan segala hal yang melukai atau mencelakakan fisik, maka hal itu tidak diperbolehkan dan haram hukumnya.
Islat: Bagaimana halnya dengan hadis-hadis Nabi yang melarang praktik itu?
A Beik: Pertama: Yang dilarang oleh Nabi –sejauh yang saya tahu- adalah menempeleng wajah sendiri, merobek baju dan mencabut rambut. Imam Khomeini (rah.) di dalam kitab Tahrirul Wasilah, kumpulan fatwa beliau, menyebutkan akan larangan hal tersebut. Adapun memukul dada dan kepala dengan tangan, maka tidak ada larangan. Oleh karena itu boleh-boleh saja.
Kedua: Nabi melarang hal itu dalam konteks orang yang ditinggal mati oleh ayah, ibu atau keluarganya yang lain dan melakukan hal itu sebagai ekspresi ketidakrelaan mereka akan takdir dan ketetapan Allah Swt. Namun yang dilakukan oleh pengikut AhlulBait bukan atas dasar itu, namun atas dasar kecintaan dan mengekspresikannya.
Islat: Sebagian orang menganggap memukul-mukul dada dan kepala itu adalah budaya orang Iran atau Persia di saat ditimpa musibah, mengapa itu menjadi sebuah anjuran dan "sunnah" secara umum?
A Beik: Pertama, sulit untuk dibuktikan, bahwa hal itu adalah budaya orang Iran saja ketika ditimpa musibah. Sebab banyak orang Arab, Pakistan dan India yang melakukan hal itu. Coba lihat orang-orang Palestin ketika mendapati anaknya dibunuh oleh tentara zionis Israel mereka memukul dada dan kepalanya.
Kebanyakan orang Indonesia pun ketika lupa sesuatu memukul dahi, sebagai tanda kesedihan, mengapa hal itu dilupakan?
Kedua, kalaupun hal itu benar dan memang budaya Iran saja, tidak bermasalah, sebab yang penting adalah apa yang mendasari kita melakukan hal itu, yaitu ekspresi kecintaan dan kesedihan, jika ada ekspresi dalam bentuk lain, maka boleh-boleh saja dan tetap akan mendapatkan pahala karena niat yang mendasarinya.
Islat: Apa hukum puasa di hari Asyura?
A Beik: Puasa biasanya disunnahkan pada hari-hari bahagia sebagai tanda syukur kepada Allah Swt atas kenikmatan yang kita terima atau terhindar dari sebuah musibah dan bahaya. Oleh karena itu pada hari-hari kelahiran Nabi atau Imam dianjurkan berpuasa sebagai rasa syukur kita akan kelahiran mereka sebagai pemandu dan pemberi petunjuk untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Begitu juga dengan hari pengangkatan Nabi, hari pengangkatan Imam dan seterusnya. Kecuali hari raya Idul Fitri dan Idul Adha memiliki hukum khusus, walaupun itu adalah hari bahagia, namun kita diharamkan melaksanakan puasa.
Berkenaan dengan hari Asyura bukanlah hari bahagia namun hari kesedihan. Oleh karenanya kita dilarang berpuasa, yang ada hanyalah dianjurkan untuk imsak (baca; tidak makan dan tidak minum) sampai waktu Zuhur dalam rangka lebih meresapi dan merasakan kehausan yang dialami oleh Imam Husain, keluarga dan sahabatnya saat itu.
Islat: Bukankah ada hadis-hadis yang sering disampaikan oleh para ustadz dan ulama, bahwa hari itu disunnahkan berpuasa?
A Beik: Memang benar sering kita dengar hal itu, bahkan disebutkan pula alasan-alasan dianjurkannya berpuasa yang menguatkan apa yang disebutkan pada jawaban di atas yaitu beberapa hal yang terjadi pada tanggal 10 Muharram sebagai hari kemenangan, kebahagiaan para nabi sepanjang sejarah dan bahkan konon, bumi diciptakan pada tanggal 10 Muharram. Namun banyak ulama AhlulBait khususnya yang menyatakan, bahwa hadis-hadis tersebut tidak benar, para perawinya tidak terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat. Khususnya alasan terakhir yang saya sebutkan, bahwa bumi diciptakan pada tanggal 10 Muharram, ini betul-betul sangat aneh, bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi di sekeliling matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum diciptakan bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama.
Yang kedua andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun pasca kesyahidan Imam Husain (as) tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka yang menimpa keluarga Rasulullah (saw) tidak ada bandingannya, sehingga kesedihan yang seharusnya dirasakan oleh seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai Rasulullah (saw) dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan menyenangkan di atas.
Islat: Pada hari peringatan Asyura sering dilantunkan syair-syair yang terkesan sangat berlebihan dan mengkultuskan individu di luar batas kewajaran manusia biasa. Misalnya ada syair yang menyatakan bahwa pada hari kesyahidan Imam Husain (as) segala sesuatu di atas muka bumi bersedih dan menangis, bahkan langit pun turut berduka dan menangis. Bolehkah hal tersebut? Sebagian dari penceramah bahkan menisbatkan hal itu kepada para Imam suci AhlulBait (as). Benarkah hal tersebut?
A Beik: Kebenaran para Imam (as) dalam hadis-hadis mereka menyampaikan hal itu membutukan penelitian hadis secara komprehensif, baik sanad atau pun matannya. Namun dari segi isi (matan) tidaklah berlebihan, sebab al-Qur'an sendiri menyebutkan hal itu. Di dalam surah Ad-Dukhan ayat 29 Allah Swt menceritakan tentang Firaun dan kaumnya yang ditimpakan mala petaka dan azab Allah Swt dengan ditenggelamkan ke dalam laut, kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: "Sungguh langit tidaklah menangis atas kematian mereka dan mereka bukanlah orang-orang yang diperhatikan". Dari ayat tersebut dapat disimpulkan, bahwa kebalikan dari kondisi mereka, yaitu jika yang meninggal dunia itu adalah Nabi Musa (as) dan pengikutnya, orang-orang mukmin yang mengikuti nabinya dengan benar, maka di saat meninggal dunia langit akan menangis dan para penduduk langit akan memperhatikan dan menyambut kedatangan ruhnya.
Imam Husain dengan keluarga dan sahabatnya tidak diragukan adalah pribadi-pribadi yang memenuhi kriteria itu. Kita pun harus berusaha agar hidup dengan iman dan amal yang baik, dalam ketaatan pada Allah dan Rasulullah (saw) sehingga di saat kita menemui ajal tidak hanya anak istri kita yang menangis, namun langit pun juga akan menangisi kepergian kita.
Islat: Apakah maksud dari ayat itu haqiqi atau majaz, atau perlu kepada takwil, yakni penduduk langit, sebagaimana firman Allah Swt; "Was alul qaryah" tanyakan pada desa, maksudnya tanyakan pada penduduk desa tersebut?
A Beik: Ada perbedaan pendapat ulama tafsir dalam hal ini, sesuai dengan metode dan mazhab penafsiran yang diyakininya, sebagian ulama seperti, Mulla Shadra yang meyakini segala sesuatu memiliki tiga alam (baca; perwujudan); materi, barzakhiy (mitsal/ pertengahan) dan mujarrad (non materi murni), maka beliau meyakininya haqiqi, jadi walaupun kita secara umum hanya mampu melihat langit sebagai materi, tak bernyawa dan mati, namun dia memiliki perwujudan lain yang hanya dilihat oleh orang khusus, dia hidup dan berlaku hukum-hukum makhluk hidup baginya.
Bagi yang tidak meyakini hal itu, maka mereka meyakininya sebagai majaz atau perlu untuk ditakwil seperti di atas. Namun hasilnya sama, bahwa boleh dan dibenarkan untuk melantunkan syair-syair seperti itu.[]
Islat: Islam Alternatif
A Beik: Ustadz Abdullah Beik MA [Ketua Departemen Pendidikan Islamic Center -Al-Huda- Jakarta]
Foto: Buku baru mas Faysal Tehrani
Thursday, January 10, 2008
Saturday, January 05, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)
About Me
- Zaynab al Kubra
- Graduan arkiteksur S1 UI. S2 Universitas Sains Malaysia. Pernah ikut suami ke Penang, Malaysia. Kini 'bekerja dengan famili.' Asal Utan Kayu, Jakarta, Indonesia